Panas terik ditambah kerumunan orang yang makin bertambah, membuat perempuan itu mendengus sebal. Kini, ia harus berdesakan di antara ratusan, bahkan ribuan orang yang tengah menyuarakan protes. Tentu, berbekal almat kampus masing-masing. Membuat jalanan kini warna-warni. Namun, tentu tak sewarna-warni perempuan yang sedari tadi mencebikkan bibir sambil terus berjalan.
Ini kali pertamanya turun ke jalan. Entah apa yang membuatnya rela seperti ini. Namun, ia juga menyesalinya. Ia menyesal karena kini harus berdesakan dengan banyak orang yang entah siapa. Bahkan mungkin jika bisa, ia ingin menggandeng temannya ke mana pun.
Ia tak mau munafik. Dari tadi, memang banyak yang mengajaknya bicara. Sekadar basa-basi dan penghilang rasa penat. Namun, rasa tak nyaman itu masih berhasil mendominasinya. Membuatnya terkesan cuek dan akhirnya ditinggalkan oleh orang-orang itu.
"Ini bakal sampe kapan sih? Kenapa juga orang-orang DPR susah banget ditemuin?" gerutunya, kesal. Sudah sejak pukul sembilan pagi ia di sini, dan sekrang sudah pukul satu siang. Tak ada perubahan. Hanya dipenuhi orasi, dan tujuan mereka belum tercapai sama sekali.
Lelah.
Namun, siapa yang menyangka kalau tiba-tiba kerusuhan bisa terjadi? Perempuan itu berdiri mematung saat teriakan menggema melalui pengeras suara. Juga, teriakan dari kawan di sampingnya.
"Siwi! Lo ngapain? Ayo lari. Di depan lagi rusuh!" teriak orang itu. Entah siapa. Siwi pun tak bisa mengingatnya. Yang bisa ia ingat hanya saat beribu manusia lari tunggang langgang. Saling mendahului agar bisa selamat.
Namun, belum jauh berlari, ia bisa mendengar desingan yang kuat. Entah itu bunyi dari mana. Yang jelas, setelahnya ada asap yang bergerak dengan begitu cepat. Terkesiap, Siwi berusaha berlari sekuat tenaga. Namun, matanya tetap pedih. Asap itu berhasil memasuki matanya.
Hingga tiba-tiba, terasa sebuah tangan merangkul bahunya. Lalu, sebuah kain terulur di depannya dan langsung tersampir di kepalanya. "Enggak kena, 'kan?"
Hampir Siwi menghentikan langkah, sebelum akhirnya sadar ia sedang di posisi genting. Suara itu masih bisa ia identifikasi dengan baik di antara bising kerusuhan di belakang. Tak perlu waktu lama untuk tahu siapa yang kini tengah melindunginya.
Siwi membalas pelan, "Kena sih. Tapi dikit. Enggak masalah." Ia menjawab dengan sekuat tenaga. Padahal aslinya, matanya sudah lumayan perih.
"Nanti kalo udah sampe tempat aman, cuci muka, ya. Atau kalo enggak, yang penting sekitar mata kena air. Biar enggak terlaku perih," ucap sosok di samping yang masih menuntun Siwi menuju tempat yang aman.
Cukup jauh rasanya mereka berjalan. Mereka harus mencari tempat yang memang bebar-benar aman. Dan sepanjang perjalanan, Siwi merutuki dirinya sendiri. Merutuki jantungnya yang berdebar cepat tanpa tahu malu. Ia juga tak tahu kenapa. Namun, ternyata setahun berpisah tak berhasil membuatnya biasa saja saat bertemu lelaki itu.
Kenapa deg-degan segala, sih. Ayo, Siwi. Ayo. Dia itu mantan. Mantan! pekiknya dalam hati.
Hingga akhirnya, rangkulan itu terasa terlepas. Begitu pun almat yang menutupi kepalanya. Membuat Siwi bisa benar-benar memandang lelaki itu dengan jelas. "Di sini aman kok. Basahin mata lo. Gue cabut dulu," ujar lelaki itu sambil berlari kecil dengan almat berkibar.
Siwi masih mematung. Memandangi tubuh sang mantan yang kini mulai menghilang dari pandangan, bersamaan dengan jatung yang detaknya masih tak karuan. Apa-apaan jantungnya ini?
"Hei!"
Sebuah tepukan membuyarkan lamunannya. Membuat Siwi menoleh dan mendapati seorang perempuan berdiri di sampingnya. Tak jauh dari tempat mereka berdiri, Siwi bisa melihat tulisan 'MEDIS' yang ditulis di sebuah potongan kardus ala kadarnya.
"Ada luka?"
Siwi menggeleng. "Tadi kena gas air mata doang. Dikit," ujar Siwi sambil tersenyum canggung.
Perempuan itu mengangguk dan mengarahkan Siwi ke sebuah bangunan yang menjadi basecamp paramedis dari mahasiswa. Di sana ia dibantu mengompres mata untuk mengurangi efek gas air mata, juga diminta beristirahat. Siwi menatap lalu-lalang di depannya. Sibuk. Tapi kenapa pikirannya masih lekat dengan lelaki yang baru saja menolongnya? Sial!
Mengeratkan genggaman pada gelas air mineral, hatinya terus merutuk. Menyadarkan diri bahwa lelaki itu adalah sosok yang menyakitinya, dulu. Sosok yang meninggalkannya bak manusia tanpa perasaan. Tapi kenapa sekarang ia berdebar?
Beranjak, Siwi mencari sudut lain untuk ditempati. Mencari tempat teraman untuk terus merutuki diri. Namun, baru saja ia duduk di sudut lain, sosok lelaki itu kembali menampakkan diri. Kini, dengan memapah seorang lelaki yang terluka di bagian kaki. Entah karena apa. Dan sialnya lagi, mereka duduk tak jauh dari tempat Siwi berada.
Ia hanya bisa terdiam. Menikmati debaran-debaran tak jelas yang membuatnya makin muak. Muak karena tak tahu perasaannya sendiri. Namun, untuk beberapa saat ia tertegun.
"Serius, enggak apa-apa?" tanya lelaki itu. Siwi bisa mendengarnya. Nada bicaranya bahkan jauh lebih lembut daripada saat menolongnya tadi.
Lelaki di sampingnya menggeleng lemah sambil tersenyum kecil. "Beneran enggak apa-apa, kok, Bay. Udah, sana. Di sini ada temen-temen medis yang bantuin aku," balas lelaki yang kini telah melepas almat dan menyimpannya di samping tubuhnya.
Bayu tampakmemandang lawan bicaranya dengan sendu. Membuat Siwi yang mengawasinya tanpa sadar meremas almat yang menutup lututnya. Tak lama, Bayu bangkit. Masih menatap lelaki yang kini mulai didekati beberapa kawan medis.
"Aku pergi dulu," katanya agak lirih. Namun, Siwi masih berhasil mendengarnya.
Tunggu. Cowok, manggilnya aku-kamu? Bentar.
Siwi mencoba menghalau semua rasa tak nyaman. Debar di jantungnya pun makin tak karuan. Entah karena apa. Hingga sesaat setelah Bayu pergi, lelaki yang masih terduduk itu menoleh. Mendapati Siwi tengah menatapnya bingung. Dan tanpa Siwi duga, lelaki itu tampak salah tingkah, lalu tersipu malu sambil menundukkan pandangan. Seketika, Siwi terdiam.
Kamis, 03 Oktober 2019
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar