Sudah bukan hal baru bagi semua orang tentang bagaimana cueknya Keisha
terhadap semua orang, terutama laki-laki. Entah teman kerja, ataupun para lelaki yang mendekatinya.
Rekan kerjanya yang lain, yang tadinya berniat membantu perempuan itu
mendapatkan pendamping pun akhirnya menyerah. Mereka sudah tak kuat mendengar
keluhan setiap lelaki atas sikap yang mereka terima.
Bukan satu dua kali pula Keisha dinasihati. Mulai dari anak-anak magang
di kantor sampai beberapa petinggi yang kenal dekat pun tak luput
berkontribusi. Namun, hasilnya tetap sama. Sepertinya perempuan itu memang
sangat nyaman menyendiri. Tentunya juga tanpa pasangan. Bahkan, kini banyak
yang meragukan. Apa Keisha punya keinginan untuk menikah?
Jana sampai di mejanya, bersisian dengan Keisha yang tampak tak peduli
dengan sekitarnya. “Pagi, Sha,” sapa Jana ramah. Namun, hening untuk beberapa
detik.
“Hm, pagi,” jawab Keisha kemudian dengan suara sepelan mungkin. Seolah jika
suaranya mengeras, akan ada yang terganggu.
Tak ada lagi yang menyahut. Ditambah, hari masih cukup pagi. Orang-orang
di divisi mereka lebih suka datang mepet. Walhasil, hanya ada Jana dan Keisha,
beserta keheningan yang membuat Jana muak.
Gadis berambut panjang itu menyalakan komputer dan mengecek emailnya yang
ternyata masih melompong. Ia pun melirik kawan di sebelahnya. “Kei,”
panggilnya.
“Hm,” jawab Keisha singkat tanpa menoleh.
Hening sejenak. “Nanti sore, lo ada acara enggak?”
“Kenapa?”
Lagi, Jana terdiam. Ia seolah tengah memilah kata apa yang tepat untuk ia
katakana. “Hmm … mau ikut gue hangout, enggak? Kebetulan cowok gue katanya mau
bawa temennya. Daripada nanti dia bosen sendirian, gue mau ajak lo. Barangkali kalian
bisa ngobrol.” Suara Jana makin mengecil seiring kalimatnya selesai diucapkan.
Ia bahkan tak berani menatap Keisha.
Sudah bisa dipastikan, Keisha memandang tajam ke arah Jana. Seolah mengatakan,
“Jangan bilang lo mau comblangin gue lagi.”
“Kalo lo enggak mau, enggak apa-apa kok, Kei,” ucap Jana buru-buru saat
merasa perempuan itu masih betah menatapnya.
Terdengar sebuah desah pelan dari bibir Keisha. “Sorry, gue enggak bisa.
Gue enggak mau jadi obat nyamuk.”
Dan itulah akhir dari percakapan mereka. Setelah itu, mereka membiarkan kesunyian
menaungi mereka. Hanya terdengar ketukan keyboard sampai akhirnya
teman mereka yang lain datang dengan heboh. Yang otomatis juga berhasil
menghalau semua kesunyian. Mulai detik itu, Jana berjanji. Ia akan berangkat
mepet saja ketimbang harus seruangan hanya dengan Keisha.
Hiruk pikuk perkantoran mulai terasa. Banyak orang berlalu-lalang. Namun,
tak termasuk Keisha. Perempuan yang kini rambutnya sudah dicepol tinggi itu tetap
asik di temak sambil mengemut lollipop-nya. Sampai tiba-tiba fokusnya
teralihkan oleh seorang office girl yang kini sudah berdiri di depan mejanya.
“Mbak, ada paket buat Mbak Kei,” ujarnya takut-takut. Ia bahkan juga tak
berani menatap Keisha. Mungkin juga ia setengah hati mengantar bungkusan
berukuran sedang itu.
Kening Keisha berkerut. Tanpa ia sadari, semua orang menghentikan aktivitas
mereka. Bertanya-tanya tentang apa dan dari mana paket itu berasal. Mereka
sudah paham betul bahwa Keisha tak pernah mengarahkan hasil belanja di toko
online ke kantor. Selama ini, tak ada satu pun orang yang mengirim barang atau
semacamnya pada perempuan itu.
“Kurang tau, Mbak. Tadi Cici cuma dimintain tolong nganter ini sama Mbak
Nadia,” jawab office girl itu jujur.
Tanpa Keisha sadari, ada rasa aneh yang menggelitik dalam dirinya. Dorongan
aneh yang membuatnya menerima paket itu. Padahal, biasanya ia paling anti
menerima barang apa pun dari orang lain ynag tak jelas siapa. Setelah paket berpindah tangan, Cici
langsung ambil langkah seribu. Ia pasti tak nyaman berinteraksi dengan Keisha.
Perempuan itu kini membolak-balik paketnya. Ia mengamati alamat pengirim
yang tentu saja tanpa nama. Bandung. Apa dia punya saudara di Bandung? Atau
teman? Namun, seingatnya ia tak mengenal satu pun manusia yang tinggal di sana.
Dorongan itu kembali datang. Dengan begitu gatal, tangannnya bergerak
cepat membuka paket itu. Hingga tampaklah sebuah bintang berukuran besar yang
terbuat dari kertas berwana merah muda. Juga, ada sebuah samplop yang
menyertainya. Segera ia buka.
Hai, Kei. Long time no see. Seperti yang aku bilang, aku akan kembali.
Sebagi tanda, I give you this star. I hope you like it. Simpan baik-baik. Kita
akan bertemu dalam waktu dekat. Aku janji. Karena aku masih punya hutang
denganmu.
Lipatan di kening Keisha makin bertambah. Siapa?
*****
Hari demi hari berlalu. Kini, terhitung sudah hampir satu bulan berlalu
sejak paket pertama mendarat di atas meja. Siapa sangka bahwa paket-paket itu akan datang beruntun ke
kantornya. Setiap minggunya, ada dua
paket yang sampai. Isinya pun selalu sama. Bintang kertas dan surat. Yang membedakan
hanya isi surat dan jumlah bintang yang diberikan. Makin hari makin bertambah. Itu
juga yang membuat mejanya ini penuh dengan toples plastik berbagai ukuran
berisi bintang warna-warni.
Jana yang kadung penasaran, tak mampu lagi menahan pertanyaannya. “Kei,
itu dari siapa sih? Kok banyak banget?”
Namun, sudah bisa dipastikan, respon yang ia dapatkan juga tetap tak
ramah. “Mana gue tau.”
Perempuan itu menelan ludahnya susah payah. “Tapi, itu dari satu orang?”
Keisha mengangguk. Entah dorongan apa, Jana memberanikan diri mendekatkan
tubuh ke meja Keisha. Mengamati toples demi toples yang berjejer dan beberapa
yang ditumpuk. “Ini isinya bintang kertas semua?” tanya Jana lagi.
Keisha mengulang jawabannya dengan anggukan kecil. Jana kembali
mengamati. Di setiap toples terdapat label angka mulai dari angka 9 sampai angka
101. Selain itu, terdapat 1 bintang berukuran besar dan 2 yang sedikit lebih
kecil. Total, sudah ada 6 paket yang sampai. Hari ini, paket ketujuh tiba.
“Kei.”
“Hm,” jawab Keisha yang tengah asik membongkar paketnya.
“Gue rasa, si pengirim ini punya kmaksud tertentu ngirimin lo bintang-bintang
ini.”
Untuk pertama kalinya, Keisha menoleh. Ia menatap Jana dengan tatapan
penuh tanya. Bukannya bahagia, Jana justru grogi dipandangi seperti itu. “Maksud
lo? Gue enggak paham.”
Jana menarik napas pelan, kemudian menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Gue
sempet baca artikel soal Lucky Star. Semacem kepercayaan di Jepang gitu. Ceritanya panjang sih. Tapi ada yang
bilang kalo Lucky Star itu punya makna tersendiri. Kayak misal kalo satu
bintang itu artinya apa, sembilan maknanya apa. Gitu. Mungkin, si pengirim juga
mau ngasih tau lo soal itu. Abisnya, makin hari kayaknya ini bintang makin
banyak.”
Keisha terdiam. Ia seolah tengah mencerna tiap kalimat yang Jana
sampaikan. Sampai-sampai lawan bicaranya itu kembali menyambung ucapannya. “Tapi
itu cuma kepercayaan beberapa orang sih. Cuma asumsi gue juga, hehe.” Jana tak
mau dianggap sok tahu.
Namun, Keisha kembali tak merespon. Ia menekuri toples yang kini ia
genggam. Tanpa merasa perlu pamit, Jana meninggalkan Keisha menyusul teman-teman
lain yang menuju kantin kantor.
Di sisi lain, Keisha setengah membenarkan ucapan Jana. Si pengirim bahkan
sampai repot-repot memberi label pada tiap toples untuk penunjuk jumlah bintang
yang dikirimkan. Walaupun agak tak percaya, pada akhirnya ia mencoba mencari
makna di balik jumlah lucky star. Dan tak butuh waktu lama untuk membuat
matanya membulat sempurna.
Ia bolak-balik menatap toples dan monitornya. Membaca satu per satu makna
yang tertera di sana. Semua merujuk pada asmara. It’s all about love. Ia tertegun
saat membaca makna dari 55 bintang. Love with no regrets. Tak lama, ia kembali
membaca makna dan mencocokkan jumlah.
****
Kalau kamu ada waktu, Jumat depan akum au bertemu denganmu. Kita ketemu
di Alofa Café. Masih ingat, kan? Semoga kamu bisa dapat petunjuk tentangku. Aku
harap, kamu masih mengingatku.
Ingat, ya. Alofa Café, hari Jumat jam 3 sore, meja 15. Di pojok, samping
jendela besar. Ah, tolong bawa dua bintang yang aku kirimkan itu. Kau akan
membutuhkannya. See you there.
Keisha tergesa dalam melangkah. Kemacetan berhasil menahannya sampai ia terlambat lima menit. Baginya, lima menit itu sudah sangat
lama. Apalagi ia akan bertemu seseorag yang sepertinya pernah ia kenal. Berbagai
perasaan bercampur jadi satu. Ia tak tahu mana yang dominan.
Hampir enam tahun tidak ke kafe ini, sedikit membuatnya rindu. Memori masa
SMA terulang begitu saja saat tubuhnya masuk ke dalam kafe. Segera, ia mencari nomor
meja sesuai petunjuk. Dari tempatnya berdiri, tampak ada seorang lelaki duduk
di meja itu sambil menatap ke luar jendela.
Sempat ragu, akhirnya ia memberanikan diri untuk menyapa. “Permisi,”
katanya.
Lelaki itu langsung menolehkan kepala dan sukses membuat Keisha tertegun
lama. “Hai, Kei. Long time no see,” kata lelaki itu dengan suara baritonnya.
Keisha mematung. Ia hampir tak percaya apa yang ada di depannya adalah
nyata. “Bisma?” cicitnya kecil.
Lelaki itu tersenyum. “Kamu masih inget ternyata. Sini duduk,” balas
lelaki itu dengan senyum yang makin lebar.
“Tapi … gimana bisa?”
Lelaki yang dipanggil Bisma itu tersenyum. Ia adalah sahabat Keisha sejak
bangku SMP hingga mereka lulus SMA. Bisma bagai menghilang ditelan bumi setelah
kepindahannya ke luar negeri untuk melanjutkan kuliah. Dan kini, lelaki itu
kembali muncul. Dengan wajah yang sama, senyum yang sama, juga dengan perasaan
Keisha yang sama seperti dulu. Tanpa diminta, Bisma menceritakan semuanya. Tentang
kenapa ia sama sekali tak bisa dihubungi, kepulangannya, dan tentu saja tentang
bintang-bintang kertas itu.
“Oh iya. Kamu bawa dua bintang yang sempat aku kasih?” Keisha mengangguk.
“Kamu bisa taruh di meja,” lanjutnya. Tak lama, Bisma mengambil sebuah kotak
yang sedari tadi ia taruh di kursi di sebelahnya bersamaan saat Keisha meletakkan
dua bintang yang ia bawa. “Nih,” kataya sambil menyerahkan kotak itu.
Kening Keisha berkerut. “Buka,” pinta Bisma sambil tersenyum lebar. Tanpa
banyak bertanya, ia membuka kotak itu dan menemukan hal yang sudah taka sing baginya.
Setoples lucky stars. Labelnya bertuliskan angka 520.
“Aku yakin, kamu pasti udah paham maksud dari angka-angka itu.”
Keisha menatap Bisma sesaat. Tanpa pikir panjang, ia mengambil gawai dan
membuka halaman tentang lucky star. Lalu, dunia seolah berhenti. “Kamu ….”
Bisma mengangguk. “Udah dari lama, Kei. Akunya aja yang pengecut. Jadi,
hari ini aku mau bilang langsung sama kamu. I love you.”
Keisha terdiam. Ia sama sekali tak menyangka bahwa sahabatnya ini
memiliki perasaan yang lebih padanya. Ada sesuatu yang tiba-tiba menggelitik
perutnya. Namun, ia tak tahu apa.
“Sekarang, aku minta jawaban kamu lewat dua bintang yang kamu bawa.”
Ucapan Bisma membuat kening Keisha kembali berkerut. “Kamu tau kan makna satu
dan dua bintang? Kalo kamu terima perasaanku, kasih aku satu bintangmu. Tapi,
kalo kamu nolak aku, kamu bisa kasih dua-duanya. Termasuk kalo kamu mau balikin
setoples bintang itu,” jelas lelaki itu santai, tetapi terdengar menuntut
jawaban.
Keisha menggigit bibir. Ia ragu. Akankah pilihannya tepat? Namun, saat
matanya mencoba menyelam ke kedalaman pandangan Bisma, Keisha seolah berhasil
menemukan jawabnnya. Untuk pertama kalinya, ia tersenyum lebar. Ia tak akan
melakukan kesalahan. Kali ini, ia mempercayakan semuanya pada apa yang hatinya katakan.