Kamis, 09 Januari 2020

Ulang Tahun

"Tau apa kamu soal hidup? Taumu cuma ngabisin duit!"

Akumasih ingat jelas, bagaimana ekspresi ibu saat meneriakkan kalimat memilukan itu. Baginya, sejak dulu aku memanglah beban.

Kehadiranku membuatnya putus sekolah. Aku yang membuatnya tak dianggap oleh siapa pun, bahkan oleh keluarganya sendiri. Aku menjauhkan ibuku dari cita-citanya sejak kecil—menjadi dokter.

Ibu bilang, dulu, ia sudah mencoba berbagai macam cara untuk melenyapkanku. Tentunya sebelum orang lain tahu bahwa ibu tengah mengandungku. Namun, semua kelewat cepat.

Ibu juga bilang bahwa dulu sempat berencana menghabisiku, tepat setelah aku lahir. Tapi, dunia seolah berpihak padaku. Napasku tak putus dan tangisanku makin keras terdengar. Membuat ibu, mau tak mau membawaku keluar dari semak belukar penuh serangga.

Kini, usiaku 15 tahun. Dan hingga detik ini, aku tak pernah bisa mrnghilangkan memori menyedihkan tentang ibuku. Ibu yang tak pernah tersenyum. Ibu yang tak pernah bangga akan apa yang berhasil aku raih. Ibu yang tak pernah marah jika aku bermain di antara genangan air hujan di sekitar rumah.

Aku ingat. Aku pernah dilempar keluar rumah saat hujan deras karena memakan mi instan ibu. Aku juga ingat. Ibu pernah membasuh wajahku dengan air genangan sisa hujan semalam. Entah karena apa. Terkadang, semua tak beralasan.

Dan aku juga ingat. Cairan kemerahan menggenang di sekitar tubuh ibu. Tepat setelah aku memotong kue ulang tahunku.

Kamis, 03 Oktober 2019

Debar

Panas terik ditambah kerumunan orang yang makin bertambah, membuat perempuan itu mendengus sebal. Kini, ia harus berdesakan di antara ratusan, bahkan ribuan orang yang tengah menyuarakan protes. Tentu, berbekal almat kampus masing-masing. Membuat jalanan kini warna-warni. Namun, tentu tak sewarna-warni perempuan yang sedari tadi mencebikkan bibir sambil terus berjalan.

Ini kali pertamanya turun ke jalan. Entah apa yang membuatnya rela seperti ini. Namun, ia juga menyesalinya. Ia menyesal karena kini harus berdesakan dengan banyak orang yang entah siapa. Bahkan mungkin jika bisa, ia ingin menggandeng temannya ke mana pun.

Ia tak mau munafik. Dari tadi, memang banyak yang mengajaknya bicara. Sekadar basa-basi dan penghilang rasa penat. Namun, rasa tak nyaman itu masih berhasil mendominasinya. Membuatnya terkesan cuek dan akhirnya ditinggalkan oleh orang-orang itu.

"Ini bakal sampe kapan sih? Kenapa juga orang-orang DPR susah banget ditemuin?" gerutunya, kesal. Sudah sejak pukul sembilan pagi ia di sini, dan sekrang sudah pukul satu siang. Tak ada perubahan. Hanya dipenuhi orasi, dan tujuan mereka belum tercapai sama sekali.

Lelah.

Namun, siapa yang menyangka kalau tiba-tiba kerusuhan bisa terjadi? Perempuan itu berdiri mematung saat teriakan menggema melalui pengeras suara. Juga, teriakan dari kawan di sampingnya.

"Siwi! Lo ngapain? Ayo lari. Di depan lagi rusuh!" teriak orang itu. Entah siapa. Siwi pun tak bisa mengingatnya. Yang bisa ia ingat hanya saat beribu manusia lari tunggang langgang. Saling mendahului agar bisa selamat.

Namun, belum jauh berlari, ia bisa mendengar desingan yang kuat. Entah itu bunyi dari mana. Yang jelas, setelahnya ada asap yang bergerak dengan begitu cepat. Terkesiap, Siwi berusaha berlari sekuat tenaga. Namun, matanya tetap pedih. Asap itu berhasil memasuki matanya.

Hingga tiba-tiba, terasa sebuah tangan merangkul bahunya. Lalu, sebuah kain terulur di depannya dan langsung tersampir di kepalanya. "Enggak kena, 'kan?"

Hampir Siwi menghentikan langkah, sebelum akhirnya sadar ia sedang di posisi genting. Suara itu masih bisa ia identifikasi dengan baik di antara bising kerusuhan di belakang. Tak perlu waktu lama untuk tahu siapa yang kini tengah melindunginya.

Siwi membalas pelan, "Kena sih. Tapi dikit. Enggak masalah." Ia menjawab dengan sekuat tenaga. Padahal aslinya, matanya sudah lumayan perih.

"Nanti kalo udah sampe tempat aman, cuci muka, ya. Atau kalo enggak, yang penting sekitar mata kena air. Biar enggak terlaku perih," ucap sosok di samping yang masih menuntun Siwi menuju tempat yang aman.

Cukup jauh rasanya mereka berjalan. Mereka harus mencari tempat yang memang bebar-benar aman. Dan sepanjang perjalanan, Siwi merutuki dirinya sendiri. Merutuki jantungnya yang berdebar cepat tanpa tahu malu. Ia juga tak tahu kenapa. Namun, ternyata setahun berpisah tak berhasil membuatnya biasa saja saat bertemu lelaki itu.

Kenapa deg-degan segala, sih. Ayo, Siwi. Ayo. Dia itu mantan. Mantan! pekiknya dalam hati.

Hingga akhirnya, rangkulan itu terasa terlepas. Begitu pun almat yang menutupi kepalanya. Membuat Siwi bisa benar-benar memandang lelaki itu dengan jelas. "Di sini aman kok. Basahin mata lo. Gue cabut dulu," ujar lelaki itu sambil berlari kecil dengan almat berkibar.

Siwi masih mematung. Memandangi tubuh sang mantan yang kini mulai menghilang dari pandangan, bersamaan dengan jatung yang detaknya masih tak karuan. Apa-apaan jantungnya ini?

"Hei!"

Sebuah tepukan membuyarkan lamunannya. Membuat Siwi menoleh dan mendapati seorang perempuan berdiri di sampingnya. Tak jauh dari tempat mereka berdiri, Siwi bisa melihat tulisan 'MEDIS' yang ditulis di sebuah potongan kardus ala kadarnya.

"Ada luka?"

Siwi menggeleng. "Tadi kena gas air mata doang. Dikit," ujar Siwi sambil tersenyum canggung.

Perempuan itu mengangguk dan mengarahkan Siwi ke sebuah bangunan yang menjadi basecamp paramedis dari mahasiswa. Di sana ia dibantu mengompres mata untuk mengurangi efek gas air mata, juga diminta beristirahat. Siwi menatap lalu-lalang di depannya. Sibuk. Tapi kenapa pikirannya masih lekat dengan lelaki yang baru saja menolongnya? Sial!

Mengeratkan genggaman pada gelas air mineral, hatinya terus merutuk. Menyadarkan diri bahwa lelaki itu adalah sosok yang menyakitinya, dulu. Sosok yang meninggalkannya bak manusia tanpa perasaan. Tapi kenapa sekarang ia berdebar?

Beranjak, Siwi mencari sudut lain untuk ditempati. Mencari tempat teraman untuk terus merutuki diri. Namun, baru saja ia duduk di sudut lain, sosok lelaki itu kembali menampakkan diri. Kini, dengan memapah seorang lelaki yang terluka di bagian kaki. Entah karena apa. Dan sialnya lagi, mereka duduk tak jauh dari tempat Siwi berada.

Ia hanya bisa terdiam. Menikmati debaran-debaran tak jelas yang membuatnya makin muak. Muak karena tak tahu perasaannya sendiri. Namun, untuk beberapa saat ia tertegun.

"Serius, enggak apa-apa?" tanya lelaki itu. Siwi bisa mendengarnya. Nada bicaranya bahkan jauh lebih lembut daripada saat menolongnya tadi.

Lelaki di sampingnya menggeleng lemah sambil tersenyum kecil. "Beneran enggak apa-apa, kok, Bay. Udah, sana. Di sini ada temen-temen medis yang bantuin aku," balas lelaki yang kini telah melepas almat dan menyimpannya di samping tubuhnya.

Bayu tampakmemandang lawan bicaranya dengan sendu. Membuat Siwi yang mengawasinya tanpa sadar meremas almat yang menutup lututnya. Tak lama, Bayu bangkit. Masih menatap lelaki yang kini mulai didekati beberapa kawan medis.

"Aku pergi dulu," katanya agak lirih. Namun, Siwi masih berhasil mendengarnya.

Tunggu. Cowok, manggilnya aku-kamu? Bentar.

Siwi mencoba menghalau semua rasa tak nyaman. Debar di jantungnya pun makin tak karuan. Entah karena apa. Hingga sesaat setelah Bayu pergi, lelaki yang masih terduduk itu menoleh. Mendapati Siwi tengah menatapnya bingung. Dan tanpa Siwi duga, lelaki itu tampak salah tingkah, lalu tersipu malu sambil menundukkan pandangan. Seketika, Siwi terdiam.

Jumat, 28 Juni 2019

Terbang



Bising rel yang beradu dengan roda besi kereta menyerbu telingaku saat sebuah balon milik seorang anak terlepas dari genggaman. Membuat gadis itu memekik nyaring, bersaing dengan bunyi kereta datang. Tampak ibunya mencoba menenangkan. Aku hanya bisa tersenyum. Andaikan ibuku seperti itu.

Saat kereta berhenti, aku segera beranjak dan menarik koperku. Sudah saatnya aku pergi. Akhirnya aku pergi dari sini.

Tak butuh waktu lama bagiku untuk menunggu kereta yang kutumpangi berlalu. Aku memandang ke luar jendela. Menatapi indahnya pemandangan sambil tersenyum lebar. Tak pernah kubayangkan hari ini benar-benar terjadi. Aku terlepas dari bayang-bayang ibu. Terlepas dari bisingnya kicauan orang di sekitar tentang ibu, juga tentangku.

Aku terus menatap ke luar jendela sampai tak terasa, aku sudah sampai di tujuan. Segera kugeret keluar koperku. Kupasang kacamata hitam andalanku. Di peron, aku tersenyum lebar. Kuhirup udara dalam-dalam. Bebas.

Aku pun beranjak saat melihat arloji telah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Kulangkahkan kaki ke tempat parkir dengan sedikit tergesa. Kuharap, ia tak menunggu terlalu lama.

Sesampainya, kulihat seorang wanita paruh baya berparas cantik sedang bersandar di sebuah sedan hitam. Dengan senyum lebar, kudekati wanita itu. "Mam?" panggilku sambil menurunkan kacamata.

Wanita itu menoleh dan memandangku. Tak lama, sebuah senyum terbit di wajahnya. "Lama banget sih kamu? Bentar lagi kamu udah harus ready ketemu pelanggan, lho," ujarnya sedikit menggerutu.

Aku hanya tertawa kecil. "Maaf, Mam. Aku terlalu seneng. Akhirnya aku bisa bebas dan ketemu Mami."

Wanita itu terkekeh. "Udah ah, Mam. Langsung berangkat yuk. Aku udah enggak sabar nih," kataku. Aku memang sedang sangat bersemangat. Semangat untuk meraih pencapaian baru, di tempat baru.

"Udah pengen dapet duit banyak. Kalo di sana kan dapet enaknya doang," lanjutku sambil terbahak. Wanita itu pun ikut tertawa sambil memasuki mobil.

Benar kata orang. Buah tak akan pernah jatuh, jauh dari pohonnya. Tapi, tak ada salahnya untuk terbawa angin sebentar dan jatuh di tempat berbeda, bukan? Setidaknya, aku akan mendapat keuntungan di sini. Ketimbang bersama ibu yang terus memanfaatkan anaknya tanpa pernah memikirkan apa pun selain uang.

Rabu, 22 Mei 2019

Salah Alamat



Aku masih bersungut marah karena pelayanan yang sangat buruk. Berkali-kali aku mengajukan komplain, jawabannya tetap sama. Padahal, yang kupesan jelas terposting di sosial media mereka. Lagi, kuajukan permintaanku sambil melayangkan protes untuk kesekian kalinya. Namun, pramusaji itu kembali menangkupkan kedua tangan di depan dada. "Maaf, tapi sepertinya Kakak salah outlet. Kakak pesan Hot & Spicy Chiken. Di sini adanya Fire Chicken, Kak. Ini  Richeese Factory, bukan KFC." Aku terdiam.

Jumat, 10 Mei 2019

Kamu dan Bintang



Sudah bukan hal baru bagi semua orang tentang bagaimana cueknya Keisha terhadap semua orang, terutama laki-laki. Entah teman kerja, ataupun para lelaki yang mendekatinya. Rekan kerjanya yang lain, yang tadinya berniat membantu perempuan itu mendapatkan pendamping pun akhirnya menyerah. Mereka sudah tak kuat mendengar keluhan setiap lelaki atas sikap yang mereka terima.
Bukan satu dua kali pula Keisha dinasihati. Mulai dari anak-anak magang di kantor sampai beberapa petinggi yang kenal dekat pun tak luput berkontribusi. Namun, hasilnya tetap sama. Sepertinya perempuan itu memang sangat nyaman menyendiri. Tentunya juga tanpa pasangan. Bahkan, kini banyak yang meragukan. Apa Keisha punya keinginan untuk menikah?
Jana sampai di mejanya, bersisian dengan Keisha yang tampak tak peduli dengan sekitarnya. “Pagi, Sha,” sapa Jana ramah. Namun, hening untuk beberapa detik.
“Hm, pagi,” jawab Keisha kemudian dengan suara sepelan mungkin. Seolah jika suaranya mengeras, akan ada yang terganggu.
Tak ada lagi yang menyahut. Ditambah, hari masih cukup pagi. Orang-orang di divisi mereka lebih suka datang mepet. Walhasil, hanya ada Jana dan Keisha, beserta keheningan yang membuat Jana muak.
Gadis berambut panjang itu menyalakan komputer dan mengecek emailnya yang ternyata masih melompong. Ia pun melirik kawan di sebelahnya. “Kei,” panggilnya.
“Hm,” jawab Keisha singkat tanpa menoleh.
Hening sejenak. “Nanti sore, lo ada acara enggak?”
“Kenapa?”
Lagi, Jana terdiam. Ia seolah tengah memilah kata apa yang tepat untuk ia katakana. “Hmm … mau ikut gue hangout, enggak? Kebetulan cowok gue katanya mau bawa temennya. Daripada nanti dia bosen sendirian, gue mau ajak lo. Barangkali kalian bisa ngobrol.” Suara Jana makin mengecil seiring kalimatnya selesai diucapkan. Ia bahkan tak berani menatap Keisha.
Sudah bisa dipastikan, Keisha memandang tajam ke arah Jana. Seolah mengatakan, “Jangan bilang lo mau comblangin gue lagi.”
“Kalo lo enggak mau, enggak apa-apa kok, Kei,” ucap Jana buru-buru saat merasa perempuan itu masih betah menatapnya.
Terdengar sebuah desah pelan dari bibir Keisha. “Sorry, gue enggak bisa. Gue enggak mau jadi obat nyamuk.”
Dan itulah akhir dari percakapan mereka. Setelah itu, mereka membiarkan kesunyian menaungi mereka. Hanya terdengar ketukan keyboard sampai akhirnya teman mereka yang lain datang dengan heboh. Yang otomatis juga berhasil menghalau semua kesunyian. Mulai detik itu, Jana berjanji. Ia akan berangkat mepet saja ketimbang harus seruangan hanya dengan Keisha.
Hiruk pikuk perkantoran mulai terasa. Banyak orang berlalu-lalang. Namun, tak termasuk Keisha. Perempuan yang kini rambutnya sudah dicepol tinggi itu tetap asik di temak sambil mengemut lollipop-nya. Sampai tiba-tiba fokusnya teralihkan oleh seorang office girl yang kini sudah berdiri di depan mejanya.
“Mbak, ada paket buat Mbak Kei,” ujarnya takut-takut. Ia bahkan juga tak berani menatap Keisha. Mungkin juga ia setengah hati mengantar bungkusan berukuran sedang itu.
Kening Keisha berkerut. Tanpa ia sadari, semua orang menghentikan aktivitas mereka. Bertanya-tanya tentang apa dan dari mana paket itu berasal. Mereka sudah paham betul bahwa Keisha tak pernah mengarahkan hasil belanja di toko online ke kantor. Selama ini, tak ada satu pun orang yang mengirim barang atau semacamnya pada perempuan itu.
“Kurang tau, Mbak. Tadi Cici cuma dimintain tolong nganter ini sama Mbak Nadia,” jawab office girl itu jujur.
Tanpa Keisha sadari, ada rasa aneh yang menggelitik dalam dirinya. Dorongan aneh yang membuatnya menerima paket itu. Padahal, biasanya ia paling anti menerima barang apa pun dari orang lain ynag tak jelas siapa. Setelah paket berpindah tangan, Cici langsung ambil langkah seribu. Ia pasti tak nyaman berinteraksi dengan Keisha.
Perempuan itu kini membolak-balik paketnya. Ia mengamati alamat pengirim yang tentu saja tanpa nama. Bandung. Apa dia punya saudara di Bandung? Atau teman? Namun, seingatnya ia tak mengenal satu pun manusia yang tinggal di sana.
Dorongan itu kembali datang. Dengan begitu gatal, tangannnya bergerak cepat membuka paket itu. Hingga tampaklah sebuah bintang berukuran besar yang terbuat dari kertas berwana merah muda. Juga, ada sebuah samplop yang menyertainya. Segera ia buka.

Hai, Kei. Long time no see. Seperti yang aku bilang, aku akan kembali. Sebagi tanda, I give you this star. I hope you like it. Simpan baik-baik. Kita akan bertemu dalam waktu dekat. Aku janji. Karena aku masih punya hutang denganmu.

Lipatan di kening Keisha makin bertambah. Siapa?

*****

Hari demi hari berlalu. Kini, terhitung sudah hampir satu bulan berlalu sejak paket pertama mendarat di atas meja. Siapa sangka bahwa paket-paket itu akan datang beruntun ke kantornya. Setiap minggunya, ada dua paket yang sampai. Isinya pun selalu sama. Bintang kertas dan surat. Yang membedakan hanya isi surat dan jumlah bintang yang diberikan. Makin hari makin bertambah. Itu juga yang membuat mejanya ini penuh dengan toples plastik berbagai ukuran berisi bintang warna-warni.
Jana yang kadung penasaran, tak mampu lagi menahan pertanyaannya. “Kei, itu dari siapa sih? Kok banyak banget?”
Namun, sudah bisa dipastikan, respon yang ia dapatkan juga tetap tak ramah. “Mana gue tau.”
Perempuan itu menelan ludahnya susah payah. “Tapi, itu dari satu orang?”
Keisha mengangguk. Entah dorongan apa, Jana memberanikan diri mendekatkan tubuh ke meja Keisha. Mengamati toples demi toples yang berjejer dan beberapa yang ditumpuk. “Ini isinya bintang kertas semua?” tanya Jana lagi.
Keisha mengulang jawabannya dengan anggukan kecil. Jana kembali mengamati. Di setiap toples terdapat label angka mulai dari angka 9 sampai angka 101. Selain itu, terdapat 1 bintang berukuran besar dan 2 yang sedikit lebih kecil. Total, sudah ada 6 paket yang sampai. Hari ini, paket ketujuh tiba.
“Kei.”
“Hm,” jawab Keisha yang tengah asik membongkar paketnya.
“Gue rasa, si pengirim ini punya kmaksud tertentu ngirimin lo bintang-bintang ini.”
Untuk pertama kalinya, Keisha menoleh. Ia menatap Jana dengan tatapan penuh tanya. Bukannya bahagia, Jana justru grogi dipandangi seperti itu. “Maksud lo? Gue enggak paham.”
Jana menarik napas pelan, kemudian menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Gue sempet baca artikel soal Lucky Star. Semacem kepercayaan di Jepang gitu. Ceritanya panjang sih. Tapi ada yang bilang kalo Lucky Star itu punya makna tersendiri. Kayak misal kalo satu bintang itu artinya apa, sembilan maknanya apa. Gitu. Mungkin, si pengirim juga mau ngasih tau lo soal itu. Abisnya, makin hari kayaknya ini bintang makin banyak.”
Keisha terdiam. Ia seolah tengah mencerna tiap kalimat yang Jana sampaikan. Sampai-sampai lawan bicaranya itu kembali menyambung ucapannya. “Tapi itu cuma kepercayaan beberapa orang sih. Cuma asumsi gue juga, hehe.” Jana tak mau dianggap sok tahu.
Namun, Keisha kembali tak merespon. Ia menekuri toples yang kini ia genggam. Tanpa merasa perlu pamit, Jana meninggalkan Keisha menyusul teman-teman lain yang menuju kantin kantor.
Di sisi lain, Keisha setengah membenarkan ucapan Jana. Si pengirim bahkan sampai repot-repot memberi label pada tiap toples untuk penunjuk jumlah bintang yang dikirimkan. Walaupun agak tak percaya, pada akhirnya ia mencoba mencari makna di balik jumlah lucky star. Dan tak butuh waktu lama untuk membuat matanya membulat sempurna.
Ia bolak-balik menatap toples dan monitornya. Membaca satu per satu makna yang tertera di sana. Semua merujuk pada asmara. It’s all about love. Ia tertegun saat membaca makna dari 55 bintang. Love with no regrets. Tak lama, ia kembali membaca makna dan mencocokkan jumlah.

****

Kalau kamu ada waktu, Jumat depan akum au bertemu denganmu. Kita ketemu di Alofa Café. Masih ingat, kan? Semoga kamu bisa dapat petunjuk tentangku. Aku harap, kamu masih mengingatku.
Ingat, ya. Alofa Café, hari Jumat jam 3 sore, meja 15. Di pojok, samping jendela besar. Ah, tolong bawa dua bintang yang aku kirimkan itu. Kau akan membutuhkannya. See you there.

Keisha tergesa dalam melangkah. Kemacetan berhasil menahannya sampai ia terlambat lima menit. Baginya, lima menit itu sudah sangat lama. Apalagi ia akan bertemu seseorag yang sepertinya pernah ia kenal. Berbagai perasaan bercampur jadi satu. Ia tak tahu mana yang dominan.
Hampir enam tahun tidak ke kafe ini, sedikit membuatnya rindu. Memori masa SMA terulang begitu saja saat tubuhnya masuk ke dalam kafe. Segera, ia mencari nomor meja sesuai petunjuk. Dari tempatnya berdiri, tampak ada seorang lelaki duduk di meja itu sambil menatap ke luar jendela.
Sempat ragu, akhirnya ia memberanikan diri untuk menyapa. “Permisi,” katanya.
Lelaki itu langsung menolehkan kepala dan sukses membuat Keisha tertegun lama. “Hai, Kei. Long time no see,” kata lelaki itu dengan suara baritonnya.
Keisha mematung. Ia hampir tak percaya apa yang ada di depannya adalah nyata. “Bisma?” cicitnya kecil.
Lelaki itu tersenyum. “Kamu masih inget ternyata. Sini duduk,” balas lelaki itu dengan senyum yang makin lebar.
“Tapi … gimana bisa?”
Lelaki yang dipanggil Bisma itu tersenyum. Ia adalah sahabat Keisha sejak bangku SMP hingga mereka lulus SMA. Bisma bagai menghilang ditelan bumi setelah kepindahannya ke luar negeri untuk melanjutkan kuliah. Dan kini, lelaki itu kembali muncul. Dengan wajah yang sama, senyum yang sama, juga dengan perasaan Keisha yang sama seperti dulu. Tanpa diminta, Bisma menceritakan semuanya. Tentang kenapa ia sama sekali tak bisa dihubungi, kepulangannya, dan tentu saja tentang bintang-bintang kertas itu.
“Oh iya. Kamu bawa dua bintang yang sempat aku kasih?” Keisha mengangguk. “Kamu bisa taruh di meja,” lanjutnya. Tak lama, Bisma mengambil sebuah kotak yang sedari tadi ia taruh di kursi di sebelahnya bersamaan saat Keisha meletakkan dua bintang yang ia bawa. “Nih,” kataya sambil menyerahkan kotak itu.
Kening Keisha berkerut. “Buka,” pinta Bisma sambil tersenyum lebar. Tanpa banyak bertanya, ia membuka kotak itu dan menemukan hal yang sudah taka sing baginya. Setoples lucky stars. Labelnya bertuliskan angka 520.
“Aku yakin, kamu pasti udah paham maksud dari angka-angka itu.”
Keisha menatap Bisma sesaat. Tanpa pikir panjang, ia mengambil gawai dan membuka halaman tentang lucky star. Lalu, dunia seolah berhenti. “Kamu ….”
Bisma mengangguk. “Udah dari lama, Kei. Akunya aja yang pengecut. Jadi, hari ini aku mau bilang langsung sama kamu. I love you.”
Keisha terdiam. Ia sama sekali tak menyangka bahwa sahabatnya ini memiliki perasaan yang lebih padanya. Ada sesuatu yang tiba-tiba menggelitik perutnya. Namun, ia tak tahu apa.
“Sekarang, aku minta jawaban kamu lewat dua bintang yang kamu bawa.” Ucapan Bisma membuat kening Keisha kembali berkerut. “Kamu tau kan makna satu dan dua bintang? Kalo kamu terima perasaanku, kasih aku satu bintangmu. Tapi, kalo kamu nolak aku, kamu bisa kasih dua-duanya. Termasuk kalo kamu mau balikin setoples bintang itu,” jelas lelaki itu santai, tetapi terdengar menuntut jawaban.
Keisha menggigit bibir. Ia ragu. Akankah pilihannya tepat? Namun, saat matanya mencoba menyelam ke kedalaman pandangan Bisma, Keisha seolah berhasil menemukan jawabnnya. Untuk pertama kalinya, ia tersenyum lebar. Ia tak akan melakukan kesalahan. Kali ini, ia mempercayakan semuanya pada apa yang hatinya katakan.