Image source: Pinterest
Aku masih menatap langit malam yang
kelabu melalui jendela kamar di lantai dua kediaman orang tuaku. Langit kelam
dan juga kosong. Tanpa bulan, apalagi bintang. Aku menghela napas panjang. Mungkin
malam ini langit sedang ingin menggodaku. Meledekku yang sama-sama kosong. Atau
mungkin malah jauh lebih kosong dari langit yang tengah kutatap.
Angin berembus menerpa wajah dan
menerbangkan beberapa helai rambutku. Entah kenapa, angin malam ini membuat
dadaku terasa perih dan sesak. Aku juga tak tahu kenapa tiba-tiba mataku terasa
berembun, berkabut, dan ada hujan yang berderai di sana. Semua begitu cepat
hingga aku tak menyadarinya.
Aku mengusap mataku yang sudah
basah. Menghilangkan jejak air yang sangat kubenci, juga menarik kembali ingus
yang hampir terjatuh. Kurenggangkan badanku, membuat tulang punggungku melengkung
sebelum jendela itu kututup.
Aku melangkah menuju tempat peraduanku
setiap malam. Namun, lagi-lagi entah kenapa, ada yang menghalangiku untuk istirahat
dengan tenang. Aku tak ingat masih meletakkannya di sana. Sebuah pigura berisi
foto pasangan yang kata banyak orang mencerminkan sebuah relationship goals. Sesuatu
yang diidamkan oleh semua orang, termasuk juga diriku.
Kuraih pigura yang masih terawat itu,
dan kubawa ke tempat tidur. Dalam foto itu, ia masih terlihat sama. Garis wajahnya
yang tegas selalu membuatku merasa nyaman. Seolah dia pasti akan melindungiku.
Mata cokelat kelamnya selalu memberikan ketenangan setiap kali aku gugup,
takut, ataupun kalut. Hidung bangir yang selalu kutarik setiap kali dia
membuatku gemas. Juga rambut ikalnya yang selalu kuacak-acak tiap kali aku tak tahu harus melakukan apa saat bersamanya.
Lima bulan yang lalu, hubungan kami
masih baik-baik saja. Lebih lagi, kami juga baru menikah. Ya, masih terhitung
lima bulan semenjak ijab kabul, dan sekarang semuanya berubah. Total.
Aku tak pernah menduga bahwa
pernikahan yang sungguh kuidamkan itu harus gugur, bahkan sebelum bertunas. Aku sampai
berpikir ratusan kali, apakah ini semua nyata. Aku selalu berharap kalau ini
semua mimpi. Nantinya saat aku terbangun, semua kembali seperti semula.
Aku bisa mencium aroma tubuhnya
yang tak pernah hilang, bisa menatapi wajahnya yang sungguh lucu saat tertidur
pulas. Wajah yang sangat bertolak belakang dengan yang dulu sering kulihat. Juga
rindu kebiasaanku mengusiknya agar dia terbangun.
Tak ada yang pernah menyangka semua
ini terjadi, termasuk orang tuaku. Mereka tahu persis bagaimana hubunganku dan
Dio berjalan selama dua tahun sebelum akhirnya kami memutuskan untuk menikah. Tak ada yang salah. Tak ada pula kejanggalan.
Hingga hari itu datang. Aku masih
mengingatnya dengan jelas. Malam itu, kami tengah berada di pesta pernikahan
salah satu sahabatku yang juga teman Dio semasa kuliah. Acara itu hanya
dihadiri oleh teman-teman dan saudara-saudaranya yang masih cukup muda.
Kami bertemu banyak orang, termasuk
teman-teman kami semasa kuliah. Kalian pasti tahu apa yang akan terjadi saat seseorang
bertemu dengan teman yang cukup dekat. Ya, aku dan Dio akhirnya memisahkan diri
menuju teman kami masing-masing. Ngobrol ke sana kemari sampai akhirnya aku
jenuh sendiri.
Dari tempatku berdiri, aku bisa
melihat Dio masih asik bercengkrama. Namun, kubulatkan tekad untuk menujunya. Setidaknya
aku memberitahunya kalau aku tak ingin terlalu lama di sini.
Dengan riang, aku melangkah
mendekat sambil sesekali membalas sapaan orang-orang yang kulewati. Menolak secara
halus ajakan mereka untuk bercengkerama barang satu dua menit. Namun, kakiku
seolah terpaku kuat di tanah saat jarakku dengan Dio tak sampai satu meter. Aku
menatap punggungnya nanar.
“Jadi, udah sah, nih? Kapan mau
punya anak?” tanya seorang lelaki dengan nada bicara yang tak kusuka.
Dapat kudengar Dio berdecak seperti
orang yang kesal. “Gue enggak mau mikirin anak. Yang penting sekarang nyokap
gue udah enggak rebut minta gue nikah,” balasnya tegas, tanpa keraguan.
Aku tak tahu apa yang membuatku
seperti ini. Aku ingin segera menjauh, tapi kakiku tak mau digerakkan. Seolah tengah
terpancang oleh rerumputan kecil di bawah kakiku.
“Serius lo? Lagian ntar juga nyokap
lo bakal minta cucu, Yo. Mending bikin dari sekarang,” balas temannya yang lain
asal.
Wajahku memanas. Aku tahu itu hanya
guyonan, tapi memangnya tak ada bahan guyonan yang lebih bagus dari ini?
“Udah deh. Asal lo tau, ya. Gue nikahin
Ratna juga karena gue enggak punya pilihan lain. Kalian tau sendiri Ratna itu
kadang childishnya minta ampun, tapi
gue enggak punya pilihan lain. Gue enggak mungkin bisa nyari gantinya Ratna
buat jadi istri gue dalam waktu kurang dari lima bulan,” balas Dio lagi. Masih sama
enteng dari sebelumnya.
“Jadi lo bakal cerai sama Ratna?”
tanya temannya yang langsung Dio jawab dengan sebuah anggukan tanpa ragu.
Isakanku lolos seketika dan entah
bagaimana caranya, ditengah hingar bingar musik dan obrolan, Dio bisa menangkap
suara isakanku. Dia menoleh dan menemukanku berada tak jauh di balik
punggungnya. Aku tak mau mendengar penjelasan apapun saat itu karena aku masih
sangat terguncang. Aku berlari ke taman yang ada di depan rumah, tempat pesta berlangsung. Memasukkan sebanyak mungkin oksigen untuk kembali menetralkan
perasaanku. Dalam hati aku memohon, semoga yang tadi kudengar bukanlah ucapan
Dio.
Tak seberapa lama, Dio menyusulku
tanpa tergesa. Ia melangkah santai menuju diriku yang tengah duduk sesantai
mungkin, dan itu justru membuatku makin sakit hati. Setidak berharga itukah
diriku baginya?
“Aku mau pulang,” pintaku langsung saat
Dio berada dalam radius yang cukup dekat denganku. Tanpa sepatah kata, ia menarik
lenganku, menggenggam tanganku dan membawaku ke mobil agar kami bisa pulang.
Selama perjalanan, tak ada yang
berbicara. Hanya alunan suara penyiar radio yang sengaja kuputar sayup terdengar.
Aku lebih memilih untuk menatap jalanan di sisi kiri tubuhku. Aku tak berani
menatap Dio walaupun dengan ekor mataku.
Kami sampai di apartemen dengan
senyap. Bahkan aku bisa mendengar degup jantungku sendiri. Kami masuk ke kamar
dan bergantian membersihkan diri.
Saat Dio selesai membersihkan diri
dan tampil dengan celana pendek serta kaus oblong, aku menarik napas sesaat.
“Yang,” panggilku lemah. Dio hanya
melirikku sejenak sebelum dia menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang dan asik
mengamati ponselnya. “Tadi aku denger kamu ….”
“Iya,” potongnya cepat tanpa tedeng
aling-aling. “Semuanya bener kok,” lanjutnya lagi, dan itu membuat dadaku makin
sesak tak keruan.
“Kenapa?” tanyaku lirih. Aku seolah
tengah kehabisan suara.
“Katanya udah denger. Udah tau
jawabannya, ‘kan? Atau kurang jelas?” balsanya ketus. Aku meneguk ludahku sekuat
tenaga. Aku tak pernah menemukan sisi ketus ini dalam dirinya sebelumnya.
“Kamu itu kekanakan. Ngerepotin,
manja. Ke mana-mana harus dianter, harus dikabarin tiap waktu, apa-apa harus
diturutin, dikit-dikit ngabek, dikit-dikit nangis,” lanjutnya.
Aku langsung tertunduk. Separah itukah
aku?
“Aku nikahin kamu juga karena
enggak ada pilihan lain,” sambungnya yang membuat hatiku makin tersayat.
“Tega kamu, Yo.” Hanya itu yang
bisa kukatakan. Aku sudah terlalu sakit hati untuk membalas perkataannya.
Pembicaraan kami hanya sampai di
situ. Aku menangis semalaman, dan Dio memilih untuk keluar yang kutahu
tujuannya sesaat setelah dia kembali ke apartemen. Ia sampai dengan kondisi
setengah sadar dan bau alkohol. Bisa kupastikan semalam ia di diskotik. Aku mencoba
untuk tidak berpikiran buruk. Namun, saat aku mengganti bajunya yang sudah
awut-awutan, rasanya aku makin menyakiti diriku sendiri.
Ada bekas lipstick di bajunya. Ada bekas
merah yang kata orang ‘cupang’ di hampir seluruh bagian dadanya, ada bau parfum
wanita yang melekat ditubuhnya, dan yang paling membuat hatiku luluh lantak,
ada beberapa alat kontrasepsi di dompetnya.
Aku tahu persis itu baru ia beli. Ia
tak pernah menyimpan benda-benda seperti itu di sekitar tubuhnya. Ia hanya
menyimpannya di laci lemari yang sengaja kukunci.
Air mataku seketika meleleh. Aku sudah
tak bisa memikirkan kemungkinan sebuah kemustahilan dan keajaiban saat ini. Aku
sudah telanjur terluka. Aku memilih berdiam diri di ruang tamu sambil
menunggunya bangun dan sadar sepenuhnya sekaligus menyusun kata yang tepat untuk
mengutarakan semuanya.
Saat ia terbangun dan beranjak
menuju dapur, aku menahannya. Kutarik napas panjang sebelum mengutarakan keptusan
terberat yang pernah aku ambil.
“Aku sayang sama kamu, Yo. Aku seneng
kita akhirnya bisa nikah, tapi kalo alesan kamu nikahin aku karena terpaksa,
aku enggak bisa terima. Aku minta maaf kalo selama ini aku nyusahin kamu, bikin
kamu kesel, ataupun bikin kamu malu. Aku mungkin emang cewek yang enggak tau
diri dan enggak dewasa. Yang perlu kamu tau, semua yang kamu lakuin ke aku itu
kelewatan, Yo. Aku juga perempuan biasa. Aku enggak bisa,” paparku Panjang lebar
sambil menahan isak tangis.
“Maksud kamu apa sih? Jagan muter-muter deh kalo ngomong.”
“Aku mau kita cerai.”
Itu adalah kalimat terkahir yang
kuucapkan padanya pagi itu, yang tanpa kuduga langsung ia terima tanpa
perdebatan. Hari itu juga aku mengemas barang-barangku, pulang ke kediaman
orang tuaku dan menceritakan semuanya. Termasuk kepada orang tua Dio.
Beberapa hari kemudian, orang tuaku membantuku dalam proses perceraianku dengan Dio, dan, ya, di sinilah aku
sekarang. Di dalam kamar di mana aku tumbuh besar, tempat di mana untuk pertama
kalinya aku menjadi seperti orang gila karena aku bisa memiliki Dio, dan kini
menjadi tempatku kembali saat cintaku ternyata tak bertuan sejak dulu. Aku baru
sadar kala perasaan yang Dio tunjukan selama ini hanya sebuah perasaan semu. Nampak
spesial di mataku karena aku terlalu menyukainya, terlalu menyayanginya.
Aku menghela napas. Kutarik sebuah
laci di nakas yang berada di sebelah ranjang. Kumasukkan pigura itu ke dalamnya
dan menutup laci itu rapat-rapat. Tak ada lagi waktu untukku menyesali masa
lalu. Sudah saatnya menjadi diriku ynag baru tanpa bayang-bayang Dio.
Hidupku bahkan baru dimulai hari ini.
0 komentar:
Posting Komentar