Senin, 17 Desember 2018

Cerpen; Rasa Semu


Image source: Pinterest



Aku masih menatap langit malam yang kelabu melalui jendela kamar di lantai dua kediaman orang tuaku. Langit kelam dan juga kosong. Tanpa bulan, apalagi bintang. Aku menghela napas panjang. Mungkin malam ini langit sedang ingin menggodaku. Meledekku yang sama-sama kosong. Atau mungkin malah jauh lebih kosong dari langit yang tengah kutatap.

Angin berembus menerpa wajah dan menerbangkan beberapa helai rambutku. Entah kenapa, angin malam ini membuat dadaku terasa perih dan sesak. Aku juga tak tahu kenapa tiba-tiba mataku terasa berembun, berkabut, dan ada hujan yang berderai di sana. Semua begitu cepat hingga aku tak menyadarinya.

Aku mengusap mataku yang sudah basah. Menghilangkan jejak air yang sangat kubenci, juga menarik kembali ingus yang hampir terjatuh. Kurenggangkan badanku, membuat tulang punggungku melengkung sebelum jendela itu kututup.

Aku melangkah menuju tempat peraduanku setiap malam. Namun, lagi-lagi entah kenapa, ada yang menghalangiku untuk istirahat dengan tenang. Aku tak ingat masih meletakkannya di sana. Sebuah pigura berisi foto pasangan yang kata banyak orang mencerminkan sebuah relationship goals. Sesuatu yang diidamkan oleh semua orang, termasuk juga diriku.

Kuraih pigura yang masih terawat itu, dan kubawa ke tempat tidur. Dalam foto itu, ia masih terlihat sama. Garis wajahnya yang tegas selalu membuatku merasa nyaman. Seolah dia pasti akan melindungiku. Mata cokelat kelamnya selalu memberikan ketenangan setiap kali aku gugup, takut, ataupun kalut. Hidung bangir yang selalu kutarik setiap kali dia membuatku gemas. Juga rambut ikalnya yang selalu kuacak-acak tiap kali aku tak tahu harus melakukan apa saat bersamanya.

Lima bulan yang lalu, hubungan kami masih baik-baik saja. Lebih lagi, kami juga baru menikah. Ya, masih terhitung lima bulan semenjak ijab kabul, dan sekarang semuanya berubah. Total.

Aku tak pernah menduga bahwa pernikahan yang sungguh kuidamkan itu harus gugur, bahkan sebelum bertunas. Aku sampai berpikir ratusan kali, apakah ini semua nyata. Aku selalu berharap kalau ini semua mimpi. Nantinya saat aku terbangun, semua kembali seperti semula.

Aku bisa mencium aroma tubuhnya yang tak pernah hilang, bisa menatapi wajahnya yang sungguh lucu saat tertidur pulas. Wajah yang sangat bertolak belakang dengan yang dulu sering kulihat. Juga rindu kebiasaanku mengusiknya agar dia terbangun.

Tak ada yang pernah menyangka semua ini terjadi, termasuk orang tuaku. Mereka tahu persis bagaimana hubunganku dan Dio berjalan selama dua tahun sebelum akhirnya kami memutuskan untuk menikah. Tak ada yang salah. Tak ada pula kejanggalan.

Hingga hari itu datang. Aku masih mengingatnya dengan jelas. Malam itu, kami tengah berada di pesta pernikahan salah satu sahabatku yang juga teman Dio semasa kuliah. Acara itu hanya dihadiri oleh teman-teman dan saudara-saudaranya yang masih cukup muda.

Kami bertemu banyak orang, termasuk teman-teman kami semasa kuliah. Kalian pasti tahu apa yang akan terjadi saat seseorang bertemu dengan teman yang cukup dekat. Ya, aku dan Dio akhirnya memisahkan diri menuju teman kami masing-masing. Ngobrol ke sana kemari sampai akhirnya aku jenuh sendiri.

Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat Dio masih asik bercengkrama. Namun, kubulatkan tekad untuk menujunya. Setidaknya aku memberitahunya kalau aku tak ingin terlalu lama di sini.

Dengan riang, aku melangkah mendekat sambil sesekali membalas sapaan orang-orang yang kulewati. Menolak secara halus ajakan mereka untuk bercengkerama barang satu dua menit. Namun, kakiku seolah terpaku kuat di tanah saat jarakku dengan Dio tak sampai satu meter. Aku menatap punggungnya nanar.

“Jadi, udah sah, nih? Kapan mau punya anak?” tanya seorang lelaki dengan nada bicara yang tak kusuka.

Dapat kudengar Dio berdecak seperti orang yang kesal. “Gue enggak mau mikirin anak. Yang penting sekarang nyokap gue udah enggak rebut minta gue nikah,” balasnya tegas, tanpa keraguan.

Aku tak tahu apa yang membuatku seperti ini. Aku ingin segera menjauh, tapi kakiku tak mau digerakkan. Seolah tengah terpancang oleh rerumputan kecil di bawah kakiku.

“Serius lo? Lagian ntar juga nyokap lo bakal minta cucu, Yo. Mending bikin dari sekarang,” balas temannya yang lain asal.

Wajahku memanas. Aku tahu itu hanya guyonan, tapi memangnya tak ada bahan guyonan yang lebih bagus dari ini?

“Udah deh. Asal lo tau, ya. Gue nikahin Ratna juga karena gue enggak punya pilihan lain. Kalian tau sendiri Ratna itu kadang childishnya minta ampun, tapi gue enggak punya pilihan lain. Gue enggak mungkin bisa nyari gantinya Ratna buat jadi istri gue dalam waktu kurang dari lima bulan,” balas Dio lagi. Masih sama enteng dari sebelumnya.

“Jadi lo bakal cerai sama Ratna?” tanya temannya yang langsung Dio jawab dengan sebuah anggukan tanpa ragu.

Isakanku lolos seketika dan entah bagaimana caranya, ditengah hingar bingar musik dan obrolan, Dio bisa menangkap suara isakanku. Dia menoleh dan menemukanku berada tak jauh di balik punggungnya. Aku tak mau mendengar penjelasan apapun saat itu karena aku masih sangat terguncang. Aku berlari ke taman yang ada di depan rumah, tempat pesta berlangsung. Memasukkan sebanyak mungkin oksigen untuk kembali menetralkan perasaanku. Dalam hati aku memohon, semoga yang tadi kudengar bukanlah ucapan Dio.

Tak seberapa lama, Dio menyusulku tanpa tergesa. Ia melangkah santai menuju diriku yang tengah duduk sesantai mungkin, dan itu justru membuatku makin sakit hati. Setidak berharga itukah diriku baginya?

“Aku mau pulang,” pintaku langsung saat Dio berada dalam radius yang cukup dekat denganku. Tanpa sepatah kata, ia menarik lenganku, menggenggam tanganku dan membawaku ke mobil agar kami bisa pulang.

Selama perjalanan, tak ada yang berbicara. Hanya alunan suara penyiar radio yang sengaja kuputar sayup terdengar. Aku lebih memilih untuk menatap jalanan di sisi kiri tubuhku. Aku tak berani menatap Dio walaupun dengan ekor mataku.

Kami sampai di apartemen dengan senyap. Bahkan aku bisa mendengar degup jantungku sendiri. Kami masuk ke kamar dan bergantian membersihkan diri.

Saat Dio selesai membersihkan diri dan tampil dengan celana pendek serta kaus oblong, aku menarik napas sesaat.

“Yang,” panggilku lemah. Dio hanya melirikku sejenak sebelum dia menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang dan asik mengamati ponselnya. “Tadi aku denger kamu ….”

“Iya,” potongnya cepat tanpa tedeng aling-aling. “Semuanya bener kok,” lanjutnya lagi, dan itu membuat dadaku makin sesak tak keruan.

“Kenapa?” tanyaku lirih. Aku seolah tengah kehabisan suara.

“Katanya udah denger. Udah tau jawabannya, ‘kan? Atau kurang jelas?” balsanya ketus. Aku meneguk ludahku sekuat tenaga. Aku tak pernah menemukan sisi ketus ini dalam dirinya sebelumnya.

“Kamu itu kekanakan. Ngerepotin, manja. Ke mana-mana harus dianter, harus dikabarin tiap waktu, apa-apa harus diturutin, dikit-dikit ngabek, dikit-dikit nangis,” lanjutnya.

Aku langsung tertunduk. Separah itukah aku?

“Aku nikahin kamu juga karena enggak ada pilihan lain,” sambungnya yang membuat hatiku makin tersayat.

“Tega kamu, Yo.” Hanya itu yang bisa kukatakan. Aku sudah terlalu sakit hati untuk membalas perkataannya.

Pembicaraan kami hanya sampai di situ. Aku menangis semalaman, dan Dio memilih untuk keluar yang kutahu tujuannya sesaat setelah dia kembali ke apartemen. Ia sampai dengan kondisi setengah sadar dan bau alkohol. Bisa kupastikan semalam ia di diskotik. Aku mencoba untuk tidak berpikiran buruk. Namun, saat aku mengganti bajunya yang sudah awut-awutan, rasanya aku makin menyakiti diriku sendiri.

Ada bekas lipstick di bajunya. Ada bekas merah yang kata orang ‘cupang’ di hampir seluruh bagian dadanya, ada bau parfum wanita yang melekat ditubuhnya, dan yang paling membuat hatiku luluh lantak, ada beberapa alat kontrasepsi di dompetnya.

Aku tahu persis itu baru ia beli. Ia tak pernah menyimpan benda-benda seperti itu di sekitar tubuhnya. Ia hanya menyimpannya di laci lemari yang sengaja kukunci.

Air mataku seketika meleleh. Aku sudah tak bisa memikirkan kemungkinan sebuah kemustahilan dan keajaiban saat ini. Aku sudah telanjur terluka. Aku memilih berdiam diri di ruang tamu sambil menunggunya bangun dan sadar sepenuhnya sekaligus menyusun kata yang tepat untuk mengutarakan semuanya.

Saat ia terbangun dan beranjak menuju dapur, aku menahannya. Kutarik napas panjang sebelum mengutarakan keptusan terberat yang pernah aku ambil.

“Aku sayang sama kamu, Yo. Aku seneng kita akhirnya bisa nikah, tapi kalo alesan kamu nikahin aku karena terpaksa, aku enggak bisa terima. Aku minta maaf kalo selama ini aku nyusahin kamu, bikin kamu kesel, ataupun bikin kamu malu. Aku mungkin emang cewek yang enggak tau diri dan enggak dewasa. Yang perlu kamu tau, semua yang kamu lakuin ke aku itu kelewatan, Yo. Aku juga perempuan biasa. Aku enggak bisa,” paparku Panjang lebar sambil menahan isak tangis.

“Maksud kamu apa sih? Jagan muter-muter deh kalo ngomong.”

“Aku mau kita cerai.”

Itu adalah kalimat terkahir yang kuucapkan padanya pagi itu, yang tanpa kuduga langsung ia terima tanpa perdebatan. Hari itu juga aku mengemas barang-barangku, pulang ke kediaman orang tuaku dan menceritakan semuanya. Termasuk kepada orang tua Dio.

Beberapa hari kemudian, orang tuaku  membantuku dalam proses perceraianku dengan Dio, dan, ya, di sinilah aku sekarang. Di dalam kamar di mana aku tumbuh besar, tempat di mana untuk pertama kalinya aku menjadi seperti orang gila karena aku bisa memiliki Dio, dan kini menjadi tempatku kembali saat cintaku ternyata tak bertuan sejak dulu. Aku baru sadar kala perasaan yang Dio tunjukan selama ini hanya sebuah perasaan semu. Nampak spesial di mataku karena aku terlalu menyukainya, terlalu menyayanginya.

Aku menghela napas. Kutarik sebuah laci di nakas yang berada di sebelah ranjang. Kumasukkan pigura itu ke dalamnya dan menutup laci itu rapat-rapat. Tak ada lagi waktu untukku menyesali masa lalu. Sudah saatnya menjadi diriku ynag baru tanpa bayang-bayang Dio.

Hidupku bahkan baru dimulai hari ini.

0 komentar:

Posting Komentar