Jumat, 21 Desember 2018

Kesan Pertama


Image source: ideaconnect.ugm.ac.id




Aku mengenalnya … Ah, tidak. Aku melihatnya sebagai sosok yang pendiam. Tak pernah kulihat sekalipun dia bercengkerama dengan siswa lain. Padahal terkadang kelas sedang ramai-ramainya. Seringkali aku mendapatinya tengah terpekur di kursinya. Diam dengan tatapan kosong. Itu makin membuat anak-anak lain menjauh karena merasa kalau di anaeh. Termasuk aku.

Tak ada yang mau berada dalam satu kelompok dengannya. Kalaupun ada, itu pasti hasil paksaan dan ancaman dari guru kami. Bagaimana mungkin bisa mengerjakan tugas kelompok dengan orang yang bahkan seperti bisu dan tuli?

Iseng, aku pernah beberapa kali menyapa ataupun memanggil namanya. Namun, yang terjadi malah dia mengacuhkanku. Pergi begitu saja tanpa menoleh seolah aku tak pernah memanggilnya. Dari sanalah aku juga mengacuhkannya. Rasa respect dan penasaranku hilang seketika.

Hari ini, kegaduhan kembali terjadi. Uang kas kelasku menghilang. Raib tanpa sisa. Bendahara kelasku mengaku bahwa ia tak mengeluarkan uang kas sama sekali hari ini. Setumpuk uang itu ia taruh di dalam tas seharian.

Tanpa aba-aba, semua mata memicing pada perempuan yang duduk diam dan tenang di pojok kelas. Ya, siapa lagi kalau bukan Ria. Dia sama sekali tak menggubris kebisingan yang kamu buat. Bahkan tak ada niat beranjak dari kursinya sekadar menanyakan apa yang terjadi.

Reza, ketua kelas kami langsung menghampirinya dengan langkah tegas. “Lo yang ngambil duit kas, ‘kan? Ngaku!” tuding Reza langsung tanpa ada nada lembut sekalipun.

Tidak etis memang menuduh langsung seseorang, tapi apa yang kalian lakukan jika ada di posisi kami? Dia yang paling mencurigakan. Apalagi, Ria juga tak pergi ke mana pun saat jam istirahat berlangsung. Kemungkinannya sangat besar.

Reza diacuhkan. Perempuan itu memilih untuk mencorat-coret kertas dengan pena yang ada di tangannya hingga kertas itu direbut paksa oleh Reza. Tanpa diduga, ia bangkit dan menunjuk perempuan yang berdiri di dekat pintu. Elisa, primadona kelas kami.

“Heh, lo gila, ya? Lo nuduh Elisa? Gila!” sentak Reza marah saat pujaan hatinya dituduh oleh perempuan aneh itu. “Geledah tasnya,” titah Reza pada kami.

Beberapa teman kelasku menggeledah tasnya. Mengeluarkan satu per satu isi tas tersebut dengan sembarangan. Kelas sangat sunyi. Hanya gesekan kulit dengan tas dan benda-benda lain yang terdengar hingga salah satu dari penggeledah itu menahan napas.

Fix, Za,” ucap lelaki itu setelah melepas napas tertahannya.

Tak butuh waktu lama bagi Ria untuk digelandang ke ruang BK. Aku tak tahu apa yang akan terjadi padanya. Namun, entah kenapa aku merasa ada yang mengganjal di hatiku. Sesaat setelah uang kas ditemukan dalam tas Ria, ekor mataku menangkap senyum ganjil dari Elisa.

Ah … mungkin aku berhalusinasi.

Jam belajar mengajar kembali berlangsung tanpa adanya Ria di kelas. Tak ada yang berubah juga sebenarnya, karena dari awal juga dia seperti tidak ada. Hingga akhirnya bel pulang berbunyi. Aku segera berkemas karena aku harus mengumpulkan beberapa berkas ke kantor Tata Usaha sebelum tutup.

Aku berlari cepat karena aku tahu di jam-jam seperti ini mereka juga tengah bersiap untuk pulang. Untunglah aku masih sempat.

Masih dengan napas tersengal, aku berjalan perlahan menuju koridor dengan pagar kawat yang hampir berbatasan dengan area parkir yang biasa digunakan sebagai tempat antar jemput manusia maupun barang. Aku tertegun saat mataku menangkap sosok mirip Ria dan Elisa berada di sana. Kuamati lamat-lamat dan mereka malah masuk ke mobil yang sama! Ada yang aneh di sini.

Aku memutuskan untuk mencari tahu keesokan harinya Bersama dua temanku. Kami bertanya sana-sini termasuk kepada guru-guru yang mungkin tahu tentang hal itu. Namun, hasilnya nihil. Aku juga tak tahu lagi harus bertanya pada siapa.

“Eh, Ki.” Maya memanggilku.

“Hmmm.”

“Gue sebenernya beberapa kali liat Ria ada di gudang. Kayak lagi bantu Pak Pri gitu. Mau coba nanya ga?”

Aku langsung menoleh girang. Aku juga tak tahu kenapa aku bersikap seperti itu. Mungkin karena rasa penasaranku belum terobati dengan sempurna. Aku langsung menggeret kedua temanku itu menuju gudang, tempat di mana kami dapat menemukan Pak Pri.

Tak butuh tenaga ekstra untuk menemukan beliau. Tak perlu berbelit-belit juga untuk mengorek informasi ynag tak pernah kami duga. Hari itu, seolah ada bom molotov yang menimpa gendang telinga kami dan radiasinya menyentuh otak. Kami tak menyangka kalau kenyatannya se-klise ini.

“Ria itu anak tiri Bu Dea. Saudara tirinya Elisa. Tapi karena ayah Ria itu bukan orang berada, Elisa jadi menganggap mereka berdua rendah. Semua perlakuannya itu adalah simbol peringatan bahwa Elisa tak menerima Ria di kehidupannya.”

Aku masih saja tercengang saat Pak Pri menyelesaikan kalimatnya. “Dia sering datang ke sini sekalian curhar sama Bapak. Kasihan. Dia anak baik tapi ga punya teman,” pungkas Pak Pri.

Aku hanya bisa berpandangan dengan kedua temanku. Sepertinya mulai besok aka nada banyak hal ynag berubah walaupun aku tetap harus emmastikan semuanya sekali lagi. 

Satu hal yang kupahami, aku tak bisa lagi memandang remeh orang lain hanya karena dia tampak berbeda dari orang disekitar.

Kesan pertamaku terhadap Ria mungkin tak begitu menyenangkan. Tak begitu apik untuk diceritakan. Namun, aku akan mencoba memberi kesan yang lebih baik padanya.

0 komentar:

Posting Komentar