Image source: pexels.com
Aku masih intens menatapinya yang masih tersenyum dalam balutan kemeja dengan
lengan tergulung. Aku menyukai gayanya yang seperti itu. Membuatku jatuh cinta.
Setiap kali aku melihatnya, hal pertama yang kutatap adalah manik mata cokelat
terang yang begitu menenangkan. Aku tak pernah berkeberatan untuk tenggelam
dlam manik matanya. Bahkan aku tak peduli jika orang lain menganggapku gila
karena hanya terdiam dan menatap matanya.
Rambutnya yang agak keriting menjadi hiburan bagiku saat aku
terserang rasa malas. Entah kenapa. Setiap kali aku memainkan rambutnya, aku
merasa duniaku sedikit lebih baik.
Jenggot dan kumis tipis adalah aksesori ynag paling pantang
untuk dihilangkan darinya. Bukan. Bukan karena dia akan tampak jelek. Namun, dia
akan tampak terlalu muda, dan aku tak suka itu. beberapa kali kencan dengannya
setelah mencukur habis jenggot dan kumisnya membuat perempuan lain begitu mudah
meliriknya. Aku tak suka. Tak akan kubiarkan ada mata lain yang menatapnya
seintens tatapanku.
Aku selalu merindukan suara baritonnya yang sangat merdu
jika tengah melantunkan sebuah lagu. Bukan sekali dua kali dia menyanyi
untukku. Suara baritonnya juga seolah menjadi obat penenang bagiku saat stress
ataupun gundah.
Bahu lebarnya selalu menjadi sasaran untukku bersandar, atau
sekadar meletakkan wajahku disana untuk dapat menghirup aromanya dalam-dalam. Senyaman itu berada di dekatnya sampai aku tak tahu harus bagaimana jika dia meninggalkanku. Kurasa, tak ada orang lain yang
sesempurna dirinya di balik semua kekurangannya.
Jemariku kembali merayapi potret wajahnya yang sengaja
kucetak hitam putih. Kupikir dengan warna yang tak menarik itu aku bisa menarik
diriku darinya sedikit demi sedikit. Namun, aku malah makin sering menatap
gambar itu, berandai seolah dia ada di depanku dan tentu bisa kupeluk erat.
Ya, dia lelakiku. Hingga saat ini, ia masih lelakiku. Walaupun
dia justru meninggalkanku beberapa bulan sebelum pernikahan kami dilangsungkan.
Ia memilih kembali ke sisi Tuhan.
“Aca.” Ibuku memanggil dari lantai bawah.
“Iya, Bu,” balasku tak kalah keras.
“Turun, Nak. Bantuin Ibu masak buat Om Hans.”
Aku meletakkan gambar berbingkai kayu itu di atas nakasku. Memandanginya
sekali lagi sebelum aku meninggalkannya.
Aku mencintaimu. Sampai
kapanpun, tak aka nada yang berubah.
sedih :-(
BalasHapusGa jodoh, padahal udah sayang banget :(
BalasHapus