![]() |
| Image source: www.canstockphoto.com |
Aku menjejakkan
kaki dengan ringan di atas rerumputan yang masih saja hijau walau aku sudah tak
melihatnya sekian tahun. Hanya saja pertumbuhan mereka meliar hingga tumbuh hampir seperti
alang-alang. Dulu, halaman depan rumah inilah yang menjadi tempat bermainku bersama
teman-teman. Tempat yang paling kami sukai, karena saat itu ada banyak hal yang
bisa kami mainkan. Ada kotak pasir, jungkat-jungkit, dan masih banyak yang
lain. Teman-temanku bilang ini adalah taman bermain versi mini.
Rumahku cukup
besar. Berpagar luar besi yang tak begitu tinggi, dan cat dominan putih gading yang
sekarang sudah tampak kusam. Aku melangkah masuk ke dalam bangunan tua itu. Debu
langsung menyergap hidung. Sepertinya mama sudah jarang beres-beres. Mama itu
paling anti dengan debu.
Aku menyapukan
pandanganku ke sekeliling ruang tamu. Tempat pertama yang akan kalian datangi kalau masuk ke rumah kami. Tak ada yang berubah. Sofa berwarna marun yang telah
kusam, berpadu dengan meja kayu di depannya. Di dinding, tergantung beberapa
pigura yang menampakkan foto keluarga kami secara utuh. Papa yang masih tetap
gagah tengah memeluk bahu mama yang juga masih nampak cantik diusia senja. Mereka
duduk di sofa marun itu. Sedangkan aku, Raka dan Bella—kedua adikku—berada di
belakang mereka sembari tersenyum lebar. Aku masih SMA saat itu. Raka masih SMP
dan Bella masih SD. Kehangatan keluarga yang tak pernah kulupakan.
Aku kembali
melangkah menuju ruang makan. Di setiap sisi dinding, selalu ada foto kami. Berjejer.
Aku hanya bisa tersenyum. Meja makan itu masih sama. Meja besar dengan
kursi-kursi di sekelilingnya. Pun dapur yang berjarak tak begitu jauh. Tak ada
yang berubah semenjak kepergianku merantau ke ibukota untuk mencari perekrjaan. Kabinet-kabinet di dinding dapur juga masih bisa tertutup rapat.
Aku berbalik.
Berjalan menuju tangga yang sempat kulewati saat menuju ruang makan. Aku meniti
tiap tangga sambil terus melihat sekeliling. Kalau kalian melihatnya secara
langsung, rumahku mungkin semi museum. Di setiap jengkal dinding, selalu ada
pigura-pigura yang tergantung. Aku menuju kamarku yang berada tepat di seberang
tangga. Tempat persembunyianku kalau aku sedang marah ataupun ngambek.
Aku memasuki
kamarku dengan gembira. Aku bisa melihat tempat tidurku tak bergeser sedikitpun
dari tempatnya yang dulu. Seprei yang dipasang pun merupakan kesukaanku. Seprei
berwarna merah muda dengan gambar strawberry yang memenuhinya. Di samping
tempat tidur, aku melihat fotoku bersanding dengan jam beker. Foto kebangganku,
tepat saat aku di wisuda.
Aku berbalik
keluar. Kususuri tangga itu lagi sambil berharap bertemu anggota keluargaku
yang lain. “Ma …," panggilku.
Namun yang
kudapat hanyalah sunyi. Aku mencoba memanggil lagi. Kini memanggil Bella yang
selalu lebih tanggap dengan panggilan. Namun, tak ada yang menyahut. Aku melirik
sekilas ke balik tangga. Ada pintu cokelat yang tak ingin ku masuki.
Ya, itu
pintu menuju ruang bawah tanah. Aku hanya pernah sekali ke sana dan ternyata
sangat pengap. Aku tak suka. Lagipula, setelahnya papa menghukumku karena masuk
ke sana tanpa izin. Aku akan berjalan menuju pintu belakang sebelum keriut
pintu depan menahan langkahku.
Aku berjalan
pelan mendekat. Apa ada tamu? Semakin dekat, aku bisa mendengar suara anak
kecil, mungkin lelaki.
“Kamu ngapain sih? Kan udah dibilangin enggak boleh ke
sini,” tegur salah satu dari mereka.
“Ya emang
kenapa? Rumahnya bagus kok.”
“Bukan
masalah bagusnya. Rumah ini tuh angker.” Aku terdiam. Apanya yang angker dari
rumahku? “Kamu
enggak denger gosip, kalo di rumah ini pernah ada pembantaian? Semua orang di
dalam rumah ini mati,” lanjutnya. Aku hanya bisa mengerut kening, heran.
“Kan cuma gosip,”
balas anak lelaki yang ada di sebelahnya dengan cuek.
“Ih, kamu
tuh. Kamu enggak denger berita kalo minggu kemaren ada orang sini yang liat
orang bawa karung malem-malem masuk ke rumah ini? Terus pas besoknya di cek,
itu mayat anak keluarga ini yang pergi ngerantau,” jelas anak itu lagi. Ia tetap
kukuh untuk pergi. “Udah ah. Ayo.
Lama-lama serem di sini.”
Mereka pergi
masih dengan berdebat. Sedangkan aku? Aku hanya bisa mencerna sebagian
percakapan aneh mereka. Masa iya rumahku semengerikan itu? Lagipula, aku tak
mendapat kabar kematian keluargaku. Itupun kalau berita itu nyata.
“Rosa.”
Aku
berbalik saat suara yang familiar itu menelusup ke telingaku. Aku berbalik dan
mendapati seluruh anggota keluargaku ada di sana. Duduk di sofa ruang tamu. Aku
tersenyum dan langsung berlari ke arah mereka.
Aku yakin
yang kudengar itu salah. Buktinya, keluargaku masih utuh dan sehat. Walaupun,
ya … mereka agak sedikit pucat.


0 komentar:
Posting Komentar