Sabtu, 19 Januari 2019

Kembali


Image source: www.canstockphoto.com


Aku menjejakkan kaki dengan ringan di atas rerumputan yang masih saja hijau walau aku sudah tak melihatnya sekian tahun. Hanya saja pertumbuhan mereka meliar hingga tumbuh hampir seperti alang-alang. Dulu, halaman depan rumah inilah yang menjadi tempat bermainku bersama teman-teman. Tempat yang paling kami sukai, karena saat itu ada banyak hal yang bisa kami mainkan. Ada kotak pasir, jungkat-jungkit, dan masih banyak yang lain. Teman-temanku bilang ini adalah taman bermain versi mini.

Rumahku cukup besar. Berpagar luar besi yang tak begitu tinggi, dan cat dominan putih gading yang sekarang sudah tampak kusam. Aku melangkah masuk ke dalam bangunan tua itu. Debu langsung menyergap hidung. Sepertinya mama sudah jarang beres-beres. Mama itu paling anti dengan debu.

Aku menyapukan pandanganku ke sekeliling ruang tamu. Tempat pertama yang akan kalian datangi kalau masuk ke rumah kami. Tak ada yang berubah. Sofa berwarna marun yang telah kusam, berpadu dengan meja kayu di depannya. Di dinding, tergantung beberapa pigura yang menampakkan foto keluarga kami secara utuh. Papa yang masih tetap gagah tengah memeluk bahu mama yang juga masih nampak cantik diusia senja. Mereka duduk di sofa marun itu. Sedangkan aku, Raka dan Bella—kedua adikku—berada di belakang mereka sembari tersenyum lebar. Aku masih SMA saat itu. Raka masih SMP dan Bella masih SD. Kehangatan keluarga yang tak pernah kulupakan.

Aku kembali melangkah menuju ruang makan. Di setiap sisi dinding, selalu ada foto kami. Berjejer. Aku hanya bisa tersenyum. Meja makan itu masih sama. Meja besar dengan kursi-kursi di sekelilingnya. Pun dapur yang berjarak tak begitu jauh. Tak ada yang berubah semenjak kepergianku merantau ke ibukota untuk mencari perekrjaan. Kabinet-kabinet di dinding dapur juga masih bisa tertutup rapat.

Aku berbalik. Berjalan menuju tangga yang sempat kulewati saat menuju ruang makan. Aku meniti tiap tangga sambil terus melihat sekeliling. Kalau kalian melihatnya secara langsung, rumahku mungkin semi museum. Di setiap jengkal dinding, selalu ada pigura-pigura yang tergantung. Aku menuju kamarku yang berada tepat di seberang tangga. Tempat persembunyianku kalau aku sedang marah ataupun ngambek.

Aku memasuki kamarku dengan gembira. Aku bisa melihat tempat tidurku tak bergeser sedikitpun dari tempatnya yang dulu. Seprei yang dipasang pun merupakan kesukaanku. Seprei berwarna merah muda dengan gambar strawberry yang memenuhinya. Di samping tempat tidur, aku melihat fotoku bersanding dengan jam beker. Foto kebangganku, tepat saat aku di wisuda.

Aku berbalik keluar. Kususuri tangga itu lagi sambil berharap bertemu anggota keluargaku yang lain. “Ma …," panggilku.

Namun yang kudapat hanyalah sunyi. Aku mencoba memanggil lagi. Kini memanggil Bella yang selalu lebih tanggap dengan panggilan. Namun, tak ada yang menyahut. Aku melirik sekilas ke balik tangga. Ada pintu cokelat yang tak ingin ku masuki.

Ya, itu pintu menuju ruang bawah tanah. Aku hanya pernah sekali ke sana dan ternyata sangat pengap. Aku tak suka. Lagipula, setelahnya papa menghukumku karena masuk ke sana tanpa izin. Aku akan berjalan menuju pintu belakang sebelum keriut pintu depan menahan langkahku.
Aku berjalan pelan mendekat. Apa ada tamu? Semakin dekat, aku bisa mendengar suara anak kecil, mungkin lelaki. 

“Kamu ngapain sih? Kan udah dibilangin enggak boleh ke sini,” tegur salah satu dari mereka.

“Ya emang kenapa? Rumahnya bagus kok.”

“Bukan masalah bagusnya. Rumah ini tuh angker.” Aku terdiam. Apanya yang angker dari rumahku? “Kamu enggak denger gosip, kalo di rumah ini pernah ada pembantaian? Semua orang di dalam rumah ini mati,” lanjutnya. Aku hanya bisa mengerut kening, heran.

“Kan cuma gosip,” balas anak lelaki yang ada di sebelahnya dengan cuek.

“Ih, kamu tuh. Kamu enggak denger berita kalo minggu kemaren ada orang sini yang liat orang bawa karung malem-malem masuk ke rumah ini? Terus pas besoknya di cek, itu mayat anak keluarga ini yang pergi ngerantau,” jelas anak itu lagi. Ia tetap kukuh untuk pergi. “Udah ah. Ayo. Lama-lama serem di sini.”

Mereka pergi masih dengan berdebat. Sedangkan aku? Aku hanya bisa mencerna sebagian percakapan aneh mereka. Masa iya rumahku semengerikan itu? Lagipula, aku tak mendapat kabar kematian keluargaku. Itupun kalau berita itu nyata.

“Rosa.” 

Aku berbalik saat suara yang familiar itu menelusup ke telingaku. Aku berbalik dan mendapati seluruh anggota keluargaku ada di sana. Duduk di sofa ruang tamu. Aku tersenyum dan langsung berlari ke arah mereka.

Aku yakin yang kudengar itu salah. Buktinya, keluargaku masih utuh dan sehat. Walaupun, ya … mereka agak sedikit pucat.

0 komentar:

Posting Komentar