Minggu, 27 Januari 2019

Memories

Image source: Pinterest


Hari itu, aku resmi menyandang status sebagai anak perantauan. Walaupun sebenarnya enggak merantau jauh banget juga. Hanya ke kota sebelah yang bisa ditempuh dalam satu jam perjalanan dari rumah. Namun, aku tak memiliki pilihan lain. Jadi anak kost adalah pilihan ynag paling aman saat ini.

Siang yang tak begitu terik cukup membuatku bersemangat membawa dan menata barang-barangku di kamar yang akan kutempati. Tentunya aku tak sendirian. Orang tua dan beberapa sanak saudaraku ikut serta. Sedih sebenarnya harus berjauhan dengan mereka sampai empat tahun ke depan. Namun, itu memang harus terjadi, ‘kan?

Tak banyak yang kuucapkan siang itu. Rasanya, buka mulut sedikit saja, aku bisa langsung menangis. Ya, ini memang pertama kalinya aku jauh dari orang tua, terutama mama. Bisa dibilang, aku ini anak ketek emak.

Sanak saudaraku pulang saat hari beranjak petang. Dengan begitu, aku mulai merasakan sepinya tempat baru. Apalagi, teman kost yang lain belum kembali dari rumah masing-masing. Aku memilih untuk mendengarkan musik kesukaanku di dalam kamar.

Tak lama, aku mendengar suara pintu diketuk. Jelas itu dari pintuu depan, karena pintunya sudah aku kunci. Setengah berlari, aku berjalan ke arah pintu depan yang hanya terselang satu kamar. Aku membukanya dan mendapati seorang wanita paruh baya berdaster berdiri di sana. Menatapku dalam.

“Kamu Ninda?” tanya wanita itu antusias. Aku hanya mengangguk. Entah kenapa, aku belum berani bersuara. “Ninda anaknya Wisnu?” tanyanya lagi menegaskan. Aku kembali mengangguk.

Oke, wanita ini jelas bukan orang sembarangan. Papa bukan orang terkenal di kalangannya. Orang saja masih suka keliru antara papa dengan pakdeku. Kalau wanita ini tau siapa papa, artinya cuma satu. Kemunginan dia adalah salah satu anggota keluarga besarku.

Belum sepenuhnya aku keluar dari pemikiranku, pipiku terasa dicubit cukup keras. “Ya ampun. Enggak nyangka. Anaknya Wisnu udah jadi gadis. Padahal dulu pas ketemu baru segini,” ucapnya sambil menggunakan ibu jari dan telunjuknya untuk menunjukkan ukuran. Ukuran yang mungkin lebih cocok untuk menggambarkan zygot.

Aku hanya bisa menatapnya bingung. Tak tahu juga harus berkat apa. “Oh iya, pasti kamu lupa sama saya, ya. Saya Laila, Budemu,” kenalnya saat menangkap ekspresi bingungku.

“Ah, iya, Bude. Maaf, Ninda enggak paham sama Bude,” balasku polos.

“Enggak apa-apa. Wajar, kok. Udah lama juga kita enggak ketemu. Duh, kamu. Makin cantik aja, ya. Langsing lagi. Padahal kamu tuh dulu gendut banget. Bikin Bude gemes,” ujarnya sambil terus mencubit pipi ataupun mengelus-elus lenganku.

Aku? Aku hanya bisa tersenyum kikuk. Tak tahu juga mau bilang apa. “Ah, udah dulu, ya. Kapan-kapan main ke rumah Budhe. Deket kok. Keselang beberapa rumah di belakang. Bude juga punya anak cowok. Mana tau kamu mau kenalan,” ucapnya sambil terkikik.

“Iya, Bude.”

Wanita itu berlalu meninggalkan bekas-bekas merah di pipi. Astaga, ibu-ibu memang sebrutal itu, ya? Aku langsung kembali ke kamar setelah mengunci pintu. Kubaringkan kembali tubuhku. Seketika teringat ucapan bude Laila tentangku di masa kecil.

Aku membuka galeri ponsel dan mencari foto paling legendaris sekaligus memalukan yang kupunya. Yap. Fotoku semasa kecil. Bahkan sampai detik ini aku tak percaya kalau bocah di foto itu aku. Dalam foto itu, terlihat diriku tengah duduk di sebuah kursi plastik. Dengan baju belang merah-hitam, dan rambut jabrik, aku menatap kamera. Jangan lupakan liur yang menggantung di sudut bibirku. Astaga! Belum lagi, tubuhku yang gempal dan kata mama hampir obesitas itu.

Ya ampun. Itu betul aku?

Aku menatap cermin yang ada di depan lemari. Beda sekali. Mataku beralih ke langit-langit. Setelah obrolan dan perkenalan singkatku dengan bude Laila tadi, aku jadi terngiang komentar beberapa orang tentang masa kecilku. Dari sana juga aku jadi punya gambaran utuk mengingat masa kecilku.

Kata mama, aku memang terlahir dengan ukuran yang lumayan. Bobotku sangat-sangat lumayan dan napsu makanku sangat besar. Jadi, bisa dipastikan pertambahan bobotku sangat signifikan dalam sebulan. Beberapa orang bilang bahwa ukuran tubuh mama bahkan lebih kecil dari pada aku. Ibaratnya mama itu sebatang korek api dari kayu, dan aku adalah sebongkash batu. perumpaan yang sadis. Semua yang mau menggendongku pun butuh tenaga ekstra walau sekadar mengangkatku. Mengangkat loh, ya.

Hampir semua sanak saudaraku mengatakan kalau aku waktu bayi sama dengan boneka bayi yang plontos. Boneka itu loh. Yang bisa dibuat tengkurap, duduk dan lain sebagainya. Mau dijahili, dicubit seperti apapun, aku tak akan berteriak apalagi menangis. Aku hanya menangis saat buang air kecil, pupu, ataupun lapar. Katanya.

Bobot tubuh yang berlebih membuatku sulit bergerak sampai pertumbuhan dan perkembanganku juga sedikit terhambat. Aku tak bisa tengkurap sendiri, tak bisa duduk sendiri juga. Jangankan belajar merangkak. Tengkurap saja tak bisa. Karena itu juga aku tak bisa berlatih berjalan. Apalagi telapak kakiku cukup rata tanpa cekungan karena  terlalu gemuk. Saking paniknya, mama sampai membawaku ke dokter anak. Takut-takut ada kelainan.

Untungnya, semua itu terjadi karena aku hampir obesitas. Walaupun tahu aku hampir obesitas, asupan makananku tak pernah berkurang. Karena kata mama, aku jadi gampang lapar. Haha, rasanya aku sangat menyebalkan.

Aku hanya bisa terdiam saat hampir semua sepupuku berkumpul di rumah nenek dan membicarakan diriku di masa lalu. Aku yang menyusahkan papa karena suka minta jajan yang aneh-aneh, yang tak bisa ditemukan di warung depan rumah. Aku yang sampai sekatang takut ayam karena dulu sempat dipatuk dan dikejar ayam betina. Aku yang rutin ke warung pakde setelah subuh, bahkan sebelum warung itu buka. Bahkan pakdeku belum pulang dari pasar, dan masih banyak lagi.

Tak lupa, mereka menyebutkan semua bahasaku saat kecil yang terdengar aneh sekaligus lucu. Kadang aku sampai berpikir, masa iya aku seperti itu? Tapi yang bilang juga bukan satu dua orang. Jadi mungkin, aku memang semenggemaskan dan semenyebalkan itu, haha.

Aku menutup galeri ponsel sambil menatap pantulanku di cermin. Sepertinya masa puberku berjasa banyak.



__________________________

*Sebenernya pengen nunjukin foto legendaris, tapi takut viral wkwk

0 komentar:

Posting Komentar