Sabtu, 09 Februari 2019

Senandung Malam








Malam semakin pekat. Ditemani temaram lampu kamar, aku menatap cermin. Menyisir helaian rambut panjangku sekaligus bersenandung lirih. Bibirku tak berhenti menyenandungkan lagu yang akhir-akhir ini kusenandungkan dalam hati.

Namun, senandungku harus terhenti kala nenek melewati kamarku dan menatapku tajam. "Kamu ngapain nyanyi lagu itu malam-malam?" tanya nenek keras. Nenek memang masih suka membentak.

"Memangnya kenapa? Aya suka lagu ini," jawabku santai. Aku merasa tak ada yang salah dengan laguku sampai harus kuhentikan.

"Kamu lupa apa yang Nenek bilang minggu lalu?"

Aku mendesah pelan. Mana mungkin aku akan melupakan ceramah panjang nenek hari itu?

Sore itu, aku tengah bermain sendiri di ruang tamu. Aku tak melakukan apapun sampai tiba-tiba nenek memberi wejangan, atau apapun itu namanya sesaat setelah mendengar sebuah lagu dari rumah sebelah.

Kata nenek, aku tak boleh menyenandungkan lagu yang barusan kami dengar di malam hari. "Kamu enggak boleh nyanyi Lingsir Wengi malam-malam. Nanti ada yang datang," ujar nenek.

"Siapa, Nek?" tanyaku penasaran.

"Kuntilanak," jawab nenek. Aku langsung bergidik dan menutup telinga saat itu. Setelahnya, nenek bercerita panjang lebar tentang lagu itu.

"Sudah. Berhenti menyanyikannya. Nenek enggak mau kamu kenapa-kenapa. Tidur," perintah nenek sambil berlalu.

Lagi-lagi, aku mengembus napas kesal. Aku menoleh ke kiri dan tersenyum. "Maaf, ya. Nenek memang suka begitu," ujarku. Aku menengadah, menyandarkan kepala di sandaran kursi kayu.

"Nenek itu terlalu kaku. Lagipula, sepertinya nenek bohong padaku. Nenek bilang, kuntilanak akan datang kalau aku menyanyikan lagu itu. Tapi sampai sekarang aku belum pernah melihatnya. Sama sekali. Benar, 'kan?" tanyaku sambil kembali menoleh.

Anak perempuan dengan rambut panjang terurai serta baju putih kumal di sampingku tersenyum dan mengangguk. "Aku menyanyikan lagu itu karena kamu menyukainya. Kan kamu temanku."

Hening sejenak, sampai kursi di samping tubuhku berderit. Ia bangun dari duduknya. "Kamu mau ke mana?" tanyaku heran.

Dia tak bersuara. Ia hanya menunjuk jendela. "Kamu mau pergi?" Dia mengangguki pertanyaanku.

"Ayolah. Kamu belum lama sampai. Kita belum banyak bermain. Tinggallah sebentar," rayuku. Namun, yang kulihat adalah tatapan sendu darinya.

"Apa ... kamu pergi karena aku berhenti bernyanyi?" Dia kembali mengangguk.

"Tapi nenek bisa marah lagi padaku kalau dengar aku bernyanyi. Kalau aku nyanyi dalam hati, kamu masih bisa dengar, 'kan?"

Lagi, anak perempuan itu mengangguk dan tersenyum lebar. Aku ikut tersenyum. Ya, aku tahu sekarang. Nenek membohongiku agar aku tak punya teman. Buktinya, setelah aku bernyanyi, aku punya beberapa teman. Aku juga menyanyikan lagu itu agar mereka suka denganku. Agar mereka mau main denganku saat aku tak bisa tidur.

Kadang, mereka juga bisa membuatku tergelak hingga nenek sering bertanya, sedang apa aku di kamar. Hanya kujaeab dengan kata "main".

Mereka sangat betah di sini. Apalagi kalau aku sudah bernyanyi. Jadi, bagiku larangan nenek itu mitos tak beralasan.



0 komentar:

Posting Komentar